SOSOK diri seseorang selalu terlihat dalam dua sisi. Ada sisi yang disukai, ada juga sisi yang dibenci. Tak seorang pun bisa memaksa bahwa hanya ada sisi yang disukai saja.
Siapa pun kita tentu menginginkan bisa selalu disukai siapa saja. Kita pun bangga dengan sosok yang kita miliki itu.
Namun, hidup ini menyajikan fenomena yang tidak seperti selalu kita harapkan. Ada orang yang suka, dan tidak sedikit yang benci.
Bahkan sosok paling di muka bumi sekali pun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga tidak luput dari fenomena itu. Banyak yang mencintainya, tapi tidak sedikit yang membencinya. Hal itu terus berlangsung hingga sekarang.
Jadi, senang dan benci bukan semata-mata karena objektivitas objeknya. Tapi lebih karena subjektivitas orang yang menilainya. Dan tak seorang pun bisa mengendalikan apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya.
Kalau terhadap manusia terbaik saja bisa terjadi like and dislike, apalagi terhadap diri kita. Siapalah kita di banding sosok mulia seperti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Yang harus kita pahami tentang hal ini adalah bahwa bukan hak kita untuk menentukan apa yang pantas dinilai orang lain tentang diri kita.
Semua penilaian tentang kita merupakan hak orang lain. Dan sekali lagi, tak seorang pun bisa memastikan apa yang harus orang lain nilai tentang kita.
“Tapi kan saya tidak seperti yang mereka nilai. Saya kan tidak seburuk itu. Saya kan…,” dan seterusnya, dan seterusnya. Hujjah ini hanya untuk kita, dan tidak berlaku untuk mata dan pikiran orang lain.
Jadi, biasakan diri kita untuk rela dianggap tidak sempurna orang lain. Biasakan diri kita untuk dinilai cacat oleh orang lain. Dan biasakan untuk tidak ada beban batin dengan kenyataan hidup itu.
Karena itu, berusahalah untuk jadi sempurna hanya untuk Allah subhanahu wata’ala. Karena hanya Allah yang selalu menilai isi hati kita, bukan fisik dan penampilan kita. [Mh]