MULIA itu bukan tentang merek. Bukan pula produk karbitan seperti pencitraan. Mulia itu apa yang Allah anugerahkan melalui jalan Islam.
Ada orang punya mobil mewah. Harganya tentu sangat mahal. Ada kebanggaan dan wibawa saat mengendarainya.
Mobil mewah akan identik dengan segala yang mewah. Mulai dari perawatan mesin, perawatan bodi, bahan bakar, cara mengendarai, bahkan garasi.
Sedikit penyimpangan saja, kemewahan hanya akan sekadar penampilan. Karena boleh jadi, mesin dan kemampuan kendaraan sudah tidak prima lagi.
Begitu pun dengan kita. Allah subhanahu wata’ala menciptakan kita dalam tingkat kemewahan yang prima.
Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4)
Karena itulah Allah menurunkan Rasul untuk mengajarkan umat manusia bagaimana merawat diri mereka. Bukan sekadar perawatan fisik, yang lebih penting lagi adalah tentang dalam diri, yaitu hati dan jiwanya.
Manusia itu seperti sebuah produk yang sangat mewah. Makanannya tak boleh asal. Rasul mengajarkan mana makanan dan minuman yang boleh dan mana yang dilarang. Begitu pun tentang cara memperolehnya.
Berbeda dengan hewan yang boleh makanan apa saja, sesuai naluri mereka. Begitu pun caranya: bebas dengan cara apa saja. Siapa yang kuat dia yang dapat.
Manusia juga Allah anugerahkan kemewahan pada akalnya. Akal bukan pada otak di kepala. Tapi hati yang ada di dada.
Melalui akal itu, Allah membimbing umat manusia dengan hidayah Islam. Hal ini agar mereka selamat dalam perjalanan hidup menuju negeri akhirat.
Akal atau hati itu produk kemewahan. Tak boleh sembarang ‘petunjuk’ bisa menjadi rujukan. Hanya yang ‘made in’ Allah saja yang layak menjadi sandaran.
Begitu dalam memenuhi hawa nafsu syahwatnya. Tidak sembarang cara boleh dilakukan. Hanya yang melalui petunjuk Allah dan teladan Rasul saja yang boleh diterapkan.
Tidak main-main, sebegitu mewahnya manusia, Allah berikan seluruh yang di bumi ini untuk manusia. Hanya manusia yang mampu mengelola dan memakmurkannya.
Sayangnya, tak semua kita paham dan sadar tentang produk mewah manusia itu. Tidak sedikit yang asal tentang asupan untuk dirinya: makanan, minuman, syahwat, dan lainnya.
Karena itulah, orang yang asal ini akan kehilangan kemewahan jati dirinya. Dia jatuh ke posisi yang lebih rendah dari hewan.
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh….” (QS. At-Tin: 5-6)
Bersyukurlah dengan segala kemewahan yang Allah anugerahkan kepada kita. Jagalah kemewahan itu hingga kita berjumpa dengan Allah setelah kematian. [Mh]