SOMBONG merupakan penyakit hati yang tak terlihat dan tak terasa. Yang melihat dan merasa justru orang-orang di luar kita.
Ada penyakit hati yang sangat berbahaya. Sedikit saja ada penyakit ini dalam hati, ia akan sulit memasuki surga Allah subhanahu wata’ala.
Penyakit ini biasa hinggap di mereka yang memiliki berbagai keberuntungan. Misalnya, keberuntungan karena banyak harta, memiliki jabatan lumayan, menjadi orang yang ditokohkan, rupawan, kecerdasan luar biasa, hingga banyak pengikut.
Rasanya, sangat keterlaluan jika orang yang biasa-biasa saja memiliki sifat sombong. Hampir-hampir tidak pernah terjadi.
Dua indikasi dari penyakit ini: menolak kebenaran dari Allah dan merendahkan manusia.
Bisa dibilang, inilah penyakit pertama yang dihinggapi makhluk Allah. Yang mengalami itu hamba Allah yang dulunya sangat mulia. Sedemikian mulianya, kedudukannya setara dengan malaikat. Dia bernama Iblis, makhluk Allah dari jenis jin.
Karena merasa lebih mulia, Iblis tidak bersedia melakukan sujud penghormatan kepada Adam alaihissalam. Ia lupa kalau penghormatan itu bukan karena objeknya, tapi karena siapa yang memerintahkannya.
Hingga kini, Iblis masih disiksa dengan penyakit sombong. Sisa-sisa hidupnya akan dihabiskan hanya untuk membuktikan kalau ia lebih mulia dari Adam dan keturunannya.
Bagaimana dengan kita? Periksa diri kita apakah ada yang istimewa dari diri kita: tentang rupa, harta, kecerdasan, pengikuti, jabatan, dan lainnya.
Kalau ada, periksa lagi apakah ada yang berubah dari diri kita mengikuti keistimewaan itu. Misalnya, apakah kita mengecilkan perintah Allah dan hukumNya.
Kedua, periksa lagi bagaimana cara pandang kita terhadap orang lain. Terhadap siapa saja, yang istimewa atau orang yang biasa saja. Ukurlah: apakah kita merasa besar di banding mereka?
Kalau ada rasa pengecilan terhadap perintah Allah, terhadap Islam, terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, terhadap segala aturanNya; itu pertanda kita terhinggap penyakit sombong.
Seperti halnya Firaun yang pernah mengatakan, “Aku Tuhan kalian yang Maha Tinggi!”
Mungkin kita tidak akan mengatakan itu. Tapi, ada rasa bahwa aturan Allah sudah ketinggalan zaman. Sudah tidak relevan lagi di zaman serba digital saat ini.
Yang lebih sering adalah pada indikasi yang kedua. Yaitu, merasa diri lebih mulia, lebih utama, lebih unggul, lebih terhormat dari yang lain.
Padahal, di balik rendahnya status sosial seseorang, ia merupakan bagian kehidupan yang tidak boleh diabaikan.
Contoh, siapa pun yang merendahkan tukang sampah, akan merasakan betapa pentingnya keberadaan mereka.
Berhati-hatilah dengan penyakit ini. Lihatlah ke ‘cermin’, dan tanyakan: sesombong apa saya saat ini? Beristigfarlah, karena tak satu pun keunggulan di dunia ini yang pantas untuk disombongkan. [Mh]