MISKIN dan kaya itu relatif. Ukurannya pada kebahagiaan hati mereka.
Dua orang bersahabat lama. Satu tinggal di kota dengan rumah mewahnya. Satunya lagi tinggal di desa dengan rumah sederhana.
Yang di kota mengajak sang sahabat bermalam di rumahnya. Ia ingin menunjukkan enaknya di rumah mewah.
“Kamu suka kan tinggal di rumahku?” tanyanya kepada sang sahabat dari desa itu.
“Aku bahagia. Tapi aku lebih bahagia tinggal di rumahku,” ungkapnya tulus.
“Di mana bahagianya? Rumahmu kecil, jauh dari kota, dan sarananya minim,” balas sang sahabat kaya.
“Nah begini saja, bagaimana kalau sekarang gentian kamu yang tinggal di rumah saya?” ucap sang sahabat miskin. Ia pun mengangguk, penasaran.
Lokasinya rumah sahabatnya itu bukan sekadar di desa. Tapi di lereng gunung yang dikelilingi sawah dan hutan. Sungai dengan bebatuan mengalirkan air jernih, tak jauh dari rumah sang sahabat miskin.
Awalnya sang sahabat kota agak tidak nyaman. Ia harus keluar rumah untuk mandi karena kamar mandinya terhubung langsung dengan sungai. Di sana pun tak ada AC, lampu taman, kolam renang, dan kulkas.
Rumahnya pun tak berpagar. Tak ada petugas keamanan yang berjaga jika mereka sedang tidur.
Namun, sahabat kota itu seperti menemukan dunia baru yang begitu kaya. Melampaui kekayaan yang ia miliki.
Seperti, air jernih terus mengalir di kamar mandi dan kolam ikan sahabatnya itu, tak pernah ditutup dengan keran.
Kalau di kota ia harus ke toko atau pasar untuk menyantap makanan, di desa itu tak perlu. Kapan pun ia ingin makan dan minum, segalanya sudah tersedia.
Mau makan ikan, tinggal tangkap dan masak. Mau makan ayam, tinggal ambil di kandang. Jangan tanya kalau mau makan nasi, persediaan berasnya begitu berlimpah untuk bertahun-tahun.
Ia pun tak perlu menyewa petugas keamanan untuk menjaga rumah. Karena masing-masing penduduk sudah siap saling menjaga.
Kolam renang di rumahnya hanya berukuran sepuluh kali dua puluh. Tapi di sini, sepanjang sungai itulah kolam renang mereka.
AC di rumahnya hanya untuk ruang-ruang di dalam rumah saja. Tapi di lereng gunung ini, AC-nya di seluruh ruang di mana kita berada, dalam dan luar rumah.
Dan satu lagi yang tak ia miliki di kota: pemandangan super dahsyat berupa lekukan indah gunung yang saling bersambung satu dengan lain. Panorama bintang gemintang saat malam pun sulit dilukiskan keindahannya dengan kata-kata.
“Wahai sahabatku,” ucap si sahabat dari kota. “Terima kasih telah menunjukkan, betapa miskinnya aku selama ini,” tambahnya. [Mh]