ChanelMuslim.com- Naluri manusia selalu ingin menghindari bahaya. Bisa berbentuk takut, was-was, khawatir, dan lainnya. Hal inilah yang mampu menggerakkan potensi yang tidur di tubuh kita tiba-tiba bangkit.
Jangan heran jika orang yang tidak kuat berlari bisa melaju kencang ketika takutnya menjadi. Wanita yang lemah bisa tiba-tiba kuat demi melindungi anaknya. Dan seterusnya. Semua itu karena alaram bahaya dalam diri kita memberikan sinyal harus melakukan sesuatu.
Namun, ada satu alarm dalam jiwa kita yang kadang sinyalnya tak mampu ditangkap sempurna. Stimulan yang ditujunya memang bukan pada gerak fisik. Tapi sebuah kesadaran hati yang mampu bereaksi terhadap senggolan dosa dan kekufuran.
Alarm bahaya itu adalah shalat kita. Yaitu, naik dan turunnya mutu shalat yang kita hadirkan. Jika dosa dan kekufuran menempel pada hati, mutu shalat pun mulai turun. Jika tempelan terus menguat, penurunan mutu bisa ke tingkat paling dasar.
Puncaknya, ketika dosa dan kekufuran kian bersedimentasi membentuk lapisan yang keras, saat itulah shalat berada di titik terendah mutu. Hambar. Tak ada rasa. Apalagi getaran jiwa.
Shalat menjadi tak ubahnya seperti ritualitas sekadarnya. Rutin tapi tanpa bekas. Waktu dilaksanakannya pun sesempat kita. Itu pun kalau masih ada waktu. Kalau pun terlewat, yah, biasa-biasa saja.
Kadang ada keinginan kuat untuk segera melaksanakan shalat selepas azan. Tapi bukan karena ingin memperbagus shalat. Lebih karena ada beban yang harus segera dilepas dan dilupakan secepatnya. Setelah itu, ada banyak urusan lain yang baiknya tak ada “gangguan”.
Jangan tanya soal shalat sunnahnya. Yang wajibnya saja terasa sangat berat. Lagian, hanya sunnah saja kok. Dilaksanakan dapat pahala, nggak juga tidak apa-apa. Yang penting kan yang wajibnya.
Tentang khusyuk? Jangankan khusyuk dan berlama-lama menikmati untaian zikir dan doa dalam shalat, jumlah rakaatnya saja sering terlupa. “Masih kurang atau sudah kelebihan ya?”
Semua waktu shalat wajib menjadi terasa mundur di akhir waktu. Zuhur ada di menjelang Ashar. Ashar dilakukan saat tak lama lagi azan Magrib. Shalat Magrib di saat waktu hampir habis. Dan Isya dilakukan setelah urusan duniawi di malam hari usai. Badan berada di puncak lelah. Mata pun bekerja keras di ambang tertidur. Seperti itulah suasana saat shalat Isya terlaksana hampir tiap malam.
Bagaimana dengan Subuh? Jangankan tepat waktu di shalat ini. Mendengar azannya saja sudah sangat jarang. Karena saat itu telinga tertutup nikmatnya tidur. Ngantuk dan lelah setelah menghabiskan lebih dari separuh malam dengan berbagai kesibukan.
Kalau saja ia tidak tinggal di Indonesia, seperti berada di Turki misalnya, waktu pelaksanaan shalat Subuhnya masih tergolong sempurna. Karena di negeri Muhammad Al-Fatih itu azan Subuhnya di kisaran setengah tujuh pagi.
Adakah orang lain tahu seperti itu mutu shalat kita? Selain keluarga, tak ada yang pernah tahu. Semua tertutup rapat oleh penampilan kita. Terkemas rapi oleh dalil dan hujjah kita. Dan tiba-tiba, kita seperti menjadi orang lain ketika bersama dalam shalat mereka. Sebuah fatamorgana yang menipu.
“Ah, betapa solehnya saya menurut mereka. Shalatnya begitu khusyuk. Sujudnya begitu lama. Bacaannya teramat fasih dan bermakna.
“Ah, betapa hebatnya shalat saya menurut mereka. Shafnya selalu di depan. Gerakannya nyaris sempurna.”
Tapi, semua itu hanya fatamorgana saat bersama. Yang mungkin hanya terjadi sepekan sekali. Yang jarang terjadi ketika sendiri.
Kenapa tidak kita tangkap semua sinyal itu sebagai alaram bahaya hati kita. Bahwa, itulah tanda dosa dan kekufuran sudah begitu mengepung akal hati kita.
Orang lain mungkin tidak pernah tahu. Dan mungkin juga kita tak menyadari. Bahwa, kita sebenarnya sudah menjadi sosok yang berbeda. Bukan kita yang dulu lagi.
Itulah alarm shalat kita. Ia memberikan sinyal bahaya. Tangkap sinyal itu dan lakukan pembenahan. Carilah kembali khusyuk itu melalui kesadaran akan banyaknya dosa dan kekufuran kita. (Mh)