ChanelMuslim.com – Perpisahan Abu Dzar dengan Istri dan Anaknya
Sungguh Abu Dzar hidup menjalani wasiat Rasulullah, dan ditempatnya corak hidupnya sesuai dengan wasiat itu, hingga iapun menjadi hati nurani masyarakat dari ummat dan bangsanya.
Berkata Ali: “Tak seorangpun tinggal sekarang ini yang tidak memperdulikan celaan orang dalam menegakkan agama Allah, kecuali Abu Dzar!”
Hidupnya dibaktikan untuk menentang penyalahgunaan kekuasaan dan penumpukkan harta! Untuk menjatuhkan yang salah dan menegakkan yang benar!
Baca Juga: Pesan Rasulullah kepada Abu Dzar
Perpisahan Abu Dzar dengan Istri dan Anaknya
Mengambil alih tanggung jawab untuk menyampaikan nasihat dan peringatan!
Mereka larang ia memberikan fatwa, tapi suaranya bertambah lantang, katanya kepada yang melarang itu:
“Demi Tuhan yang nyawaku berada di tangan-Nya! Seandainya tuan-tuan menaruh pedang di atas pundakku, sedang menurut rasa hatiku masih ada kesempatan untuk menyampaikan ucapan Rasulullah yang kudengar daripadanya, pastilah akan kusampaikan juga sebelum tuan-tuan menebas batang leherku!
Wahai, kenapa Kaum Muslimin tak hendak mendengarkan nasihat dan tutur katanya waktu itu! Seandainya mereka dengarkan, pastilah fitnah yang berkobar dan berlarut-larut, yang menjerumuskan pemerintah dan masyarakat Islam pada bahaya, padam dan mati dalam kandungan.
Sekarang Abu Dzar sedang menghadapi sakaratul maut di Rabadzah, suatu tempat yang dipilihnya sebagai tempat kediaman setelah terjadi perbedaan pendapat dengan Utsman radhiyallahu ‘anhu.
Nah marilah kita renungkan, untuk melepas kepergian orang besar ini, dan menyaksikan akhir kesudahan dari kehidupannya yang luar biasa!
Seorang perempuan kurus yang berkulit kemerah-merahan dan duduk dekatnya menangis. Perempuan itu adalah isterinya.
Abu Dzar bertanya kepadanya: “Apa yang kamu tangiskan padahal maut itu pasti datang?”
Jawabnya: “karena anda akan meninggal, padahal pada kita tak ada kain untuk kafanmu!”
Abu Dzar tersenyum dengan amat ramah, seperti halnya orang yang hendak merantau jauh, lalu berkata kepada isterinya itu:
“Janganlah menangis! Pada suatu hari, ketika saya berada di sisi Rasulullah bersama beberapa orang shahabatnya, saya dengar beliau bersabda: “Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, yang akan disaksiakan nanti oleh serombongan orang-orang beriman!”
Semua yang ada di Majlis Rasulullah itu telah meninggal di kampung dan di hadapan jama’ah Kaum Muslimin, tak ada lagi yang masih hidup di antara mereka kecuali daku. Nah, inilah daku sekarang menghadapi maut di padang pasir, maka perhatikanlah olehmu jalan.
Siapa tahu kalau-kalalu rombongan orang-orang berimana itu sudah datang! Demi Allah saya tidak bohong, dan tidak pula di bohongi!”
Dan ruhnyapun kembali ke hadirat Allah, dan benarlah tidak salah.
Kafilah yang sedang berjalan cepat di padang sahara itu terdiri atas rombongan Kaum Muslimin yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud, shahabat Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam.
Dan sebelum sampai ke tempat tujuan, Ibnu Mas’ud telah melihat sesosok tubuh, sesosok tubuh yang terbujur seperti tubuh mayat, sedang disisinya seorang wanita tua dengan seorang anak, kedua-duanya menangis.
Dibelokkannya kekang kendaraan ke tempat itu, diikuti dari belakang oleh anggota rombongan. Dan demi pandangannya jatuh ke tubuh mayat, tampak olehnya wajah shahabatnya, saudaranya seagama dan saudaranya dalam membela agama Allah, yakni Abu Dzar.
Air matanya mengucur lebat, dan di hadapan tubuh mayat yang suci itu ia berkata:
“Benarlah ucapan Rasulullah…
Anda berjalan sebatang kara…
Mati sebatang kara…
Dan dibangkitkan nanti sebantang kara!”
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu pun duduk. lalu diceritakan kepada para shahabatnya maksud dari pujian yang diucapkannya itu:
“Anda berjalan seorang diri, mati seorang diri dan dibangkitkan nanti seorang diri!” [Ln]