ChanelMuslim.com – Kisah hijrahnya umat Islam ke Habasyah bermula dari berbagai tekanan yang dilancarkan orang-orang Quraisy dimulai pada pertengahan atau akhir tahun keempat dari nubuwah. Gangguan terhadap kaum Muslimin semakin berat dari hari ke hari bahkan beberapa orang gugur karena disiksa terlalu keras.
Berdasarkan wahyu dari Allah, Rasulullah pun memerintahkan agar mereka berhijrah. Sementara, kaum kafir Quraisy berusaha membuntuti rombongan ini guna menggagalkan misi tersebut.
“Wahai Rasulullah, ke mana kami akan pergi?”
Rasulullah menasihati agar mereka pergi ke Habasyah yang rakyatnya menganut agama Kristen.
“Tempat itu diperintah oleh seorang raja dan tidak ada orang yang dianiaya di situ. Itu bumi yang jujur, sampai nanti Allah membukakan jalan buat kita semua,” demikian sabda Rasulullah.
Baca Juga: Konsekuensi Hijrahnya Seseorang
Raja Najasyi Berdialog dengan Rombongan Umat Islam
Mematuhi perintah Rasulullah, berangkatlah rombongan pertama kaum Muslimin ke Habasyah pada bulan Rajab, tahun kelima kenabian. Rombongan itu terdiri atas 12 orang pria dan 4 perempuan. Dengan sembunyi-sembunyi, mereka meninggalkan Mekah, menyeberangi laut ke benua Afrika, dan tiba di pantai Habasyah.
Seperti yang dikatakan Rasulullah, Najasyi, Raja Habasyah itu, memberi mereka perlindungan dan tempat yang baik. Kelak, ketika mendengar bahwa orang Quraisy tidak lagi menyiksa kaum Muslimin, mereka kembali pulang. Namun, ternyata berita itu tidak benar. Di Mekah, keadaan justru semakin buruk bagi kaum Muslimin.
Mereka pun berangkat kembali ke Habasyah, kali ini dengan jumlah rombongan yang lebih besar, terdiri atas 83 orang pria dan 18 wanita dipimpin oleh Ja’far bin Abu Thalib.
Saat itu, Habasyah adalah negara yang meliputi bagian selatan Mesir, Erytrea, Ethiopia, dan Sudan. Habasyah artinya ‘persekutuan’. Dahulu Habasyah bersekutu dengan kerajaan Saba atau Himyar. Kaum Muslimin berangkat dari Teluk Syu’aibah, sebelah selatan Jeddah.
Orang-orang musyrik sangat meradang jika orang-orang muslim itu memperoleh tempat yang aman bagi diri dan agama mereka, untuk itu mereka memilih dua orang yang cukup terpandang yaitu Amr bin Al-‘Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah, mereka mengirim dua orang sambil membawa berbagai macam hadiah untuk dipersembahkan kepada Raja Najasyi dan para uskup di sana.
Setibanya di tempat tujuan, mereka pun diterima Raja Najasi, dalam suatu majelis kerajaan penuh keagungan. Tidak seperti tamu-tamu lainnya, kaum Muslimin memasuki majelis kerajaan tanpa mengikuti kebiasaan rakyat setempat: menunduk dan bersujud di hadapan raja yang beragama Kristen itu.
“Wahai tuan raja, sesungguhnya ada beberapa orang bodoh yang telah menyusup ke negeri tuan, mereka ini telah memecah-belah agama kaumnya juga tidak mau masuk ke dalam agama tuan, mereka datang sambil membawa agama baru yang mereka ciptakan sendiri,” kata mereka berdua
Mereka berdua meminta agar Raja Najasyi mengembalikan mereka ke kaum negerinya. Raja Najasyi merasa perlu untuk meneliti secara detail masalah tersebut dan mendengarkan dari setiap pihak. Raja Najasyi mengirim utusan untuk menemui orang-orang muslim dan mendatangkan mereka ke hadapannya.
Mereka berusaha menjatuhkan posisi kaum Muslimin di hadapan Raja Najasi. Namun, juru bicara kaum Muslimin yang juga sepupu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Ja’far bin Abi Thalib, tampil menjelaskan.
Tampilnya Ja’far Menguatkan Hijrah
“Wahai tuan Raja, dulu kami adalah pemeluk agama jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, berbuat mesum, memutuskan tali persaudaraan, dan menyakiti tetangga. Begitulah gambaran kami dulu, hingga Allah mengutus seorang rasul dari kalangan kami sendiri yang kami ketahui nasabnya, kejujuran, amanah, dan kesucian dirinya. Beliau menyuruh kami untuk mengesahkan Allah dan menyembahnya, serta meninggalkan penyembahan kami yang dahulu,” kata Ja’far.
“Apakah engkau bisa membacakan sedikit ajaran dari Allah dibawa Rasulullah,” tanya Raja Najasyi.
Maka Ja’far pun membacakan sebagian dari surat Maryam, “Kaf ha, ya’ ain shad.”
Mendengar bacaan itu, Raja Najasyi menangis hingga membasahi jenggotnya, begitu pula para uskupnya hingga menjadikan mereka basah oleh airmata setelah mendengar apa yang dibacakan kepada mereka.
“Sesungguhnya ini dan yang dibawa Isa benar-benar keluar dari satu Misykat. Pergilah kalian berdua, demi Allah aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian berdua. Demi Allah sama sekali tidak,” kata Raja Najasyi.
Rupanya penjelasan Ja’far pemuda tampan yang juga kakak dari Ali bin Abi Thalib ini dapat diterima raja, hingga akhirnya, hijrahnya umat Islam ke Habasyah dapat berjalan lancar dan mereka dapat tinggal cukup lama di negeri itu dengan aman.[ind/Walidah]