KECERDASAN Hajar, istri Nabi Ibrahim alaihis salam terasah saat ditinggalkan bersama bayinya di Mekkah.
Mekkah pada saat itu adalah sebuah gurun pasir yang tandus, tak ada satu pun orang yang tinggal di daerah tersebut.
Hajar terus menjalani hidup berdua dengan Ismail di dekat sumur zamzam hingga suatu saat, lewatlah serombongan orang dari suku Jurhum yang datang dari jalur Bukit Kadaa.
Rombongan itu melihat ada burung sedang terbang berputar-putar.
Mereka berseru, “Burung itu terbang berputar karena mengelilingi air, padahal kita tahu dengan pasti bahwa di lembah daerah ini tidak ada air.”
Baca Juga: 10 Cara Menjaga Kecerdasan Otak
Akhirnya, untuk menghilangkan penasaran, mereka mengutus orang untuk berlari cepat menuruni lembah dan memastikan bahwa memang benar ada air seperti gelagat yang dilihat pada burung-burung tersebut.
Sang utusan pun segera kembali untuk memberi kabar pada rombongan bahwa benar ada air di lembah yang dilihatnya, dan di dekatnya ada seorang ibu bersama anak laki-lakinya.
Kemudian, mereka pun memohon izin untuk mendirikan tenda, sekadar singgah dan meminta air.
Hajar memberi izin mereka tingga sementara dan memperbolehkan mengambil air secukupnya, tetapi tidak memberi izin untuk memilikinya.
Kecerdasan Hajar akan Harta Kepemilikan
Di sinilah tampak kecerdasan Hajar, dengan menyadari akan harta kepemilikan.
Dari sini, Hajar dapat melakukan barter air dengan kebutuhan hidup lainnya sehingga ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, hanya bermodalkan air zamzam sebagai sarana kebutuhan hidup yang vital.
Kita belajar dari Hajar bahwa sumber daya alam yang dibutuhkan, hajat hidup orang banyak tidak boleh disia-siakan atau malah dikuasakan ke orang asing–sebagaimana yang terjadi di negeri kita ini (Indonesia),
banyak sumber daya alam (SDA) kita yang dikuasai oleh orang lain (pihak asing), sedangkan kita hanya menjadi karyawan yang bekerja bagaikan budak.
Jiwa yang Matang dan Dewasa
Kalau kita bandingkan dengan kondisi saat ini–antara Hajar dan perempuan masa kini–apa jadinya kelanjutan rumah tangga jika seorang suami meninggalkan istri bersama bayi yang masih merah tanpa bekal,
tanpa rumah, bahkan ditinggalkan di negeri yang tandus dan tak ada tanda-tanda kehidupan.
Hanya beratapkan langit, berlantaikan padang pasir. Sepi, sendiri–tiada manusia lain, tak seorang pun.
Mungkin kalau perempuan lain akan lebih memilih bunuh diri, mengakhiri hidup karena putus asa dan kehilangan harapan.
Di sinilah kualitas keimanan Hajar teruji. Membuktikan dirinya bukanlah perempuan biasa yang manja, gampang merajuk, dan mudah putus asa.
Ia membuktikan jati dirinya bahwa meskipun pernah menjadi seorang budak, ia tidak menyerah dengan keadaan, tidak berpasrah atau murung menyesali nasib.
Selain itu, ia juga tidak memprotes tindakan suaminya, misalnya dengan meminta cerai atau bahkan nekat mengancam suaminya untuk bunuh diri jika ditinggalkan sendirian.
Sikap ini menunjukkan kematangan, kedewasaan, kecerdasan, dan ketaatan Hajar.
Kelak, keteguhan ini pulalah yang berdampak sangat kuat dalam diri dan jiwa Ismail, sebagai hasil didikan dan asuhan sang ibunda, Hajar.[ind]
Sumber: Hajar, Perempuan Pilihan Langit. Dian Yasmina Fajri. Gema Insani: 2016.