ChanelMuslim.com – Inspirasi Ibunda Para Ulama (2)
Saat membaca kisah hidup para ulama, para pembimbing umat dan masyarakat, kita akan menyaksikan bagaimana sentuhan pendidikan dari sang ibunda. Pendidikan yang dapat menjadi pondasi bagi terbentuknya karakter mulia kepada mereka. Ibu mereka menanamkan dasar-dasar agama dan pokok-pokok akidah islamiyah untuk buah hatinya. Sehingga terbentuklah pribadi-pribadi mulia tertempa menjadi anak-anak akhirat bukan anak-anak dunia.
Disinilah sejatinya peran sang pendidik pertama, membentuk pondasi akidah dan akhlak yang baikm sehingga dapat menjadi pribadi yang kokoh memegang tali agama dan tidak tergerus arus perubahan zaman. Berikut adalah kisah lanjutan ibunda para ulama besar.
Baca Juga: Terinspirasi Iman Islam, Relawan Muslim Bersihkan Taman Birmingham
Inspirasi Ibunda Para Ulama (2)
Keenam: Ibu Imam al-Bukhari
Imam al-Bukhari tumbuh besar sebagai seorang yatim. Ibunyalah yang mengasuhnya. Ibunya mendidiknya dengan pendidikan yang terbaik. Mengurus keperluannya, mendoakannya, dan memotivasinya untuk belajar dan berbuat baik.
Saat berusia 16 tahun, ibunya mengajak Imam al-Bukhari bersafar ke Mekah. Kemudian meninggalkan putranya di negeri haram tersebut. Tujuannya agar sang anak dapat menimba ilmu dari para ualma Mekah. Dari hasil bimbingan dan perhatian ibunya, jadilah Imam al-Bukhari seperti yang kita kenal saat ini. Seorang ulama yang gurunya pernah mengatakan, “Tidak ada orang yang lebih hebat darinya (dalam ilmu hadits)”.
Ketujuh: Ibu Ibnu Taimiyah
“Demi Allah, seperti inilah caraku mendidikmu. Aku nadzarkan dirimu untuk berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin. Aku didik engkau diatas syariat agama. Wahai anakku, jangan kau sangka, engkau berada disisiku itu lebih aku cintai dibanding kedekatanmu pada agama, berkhidmat untuk Islam dan kaum muslimin walaupun kau berada di penjuru negeri. Anakku, ridhaku kepadamu berbanding lurus dengan apa yang kau persembahkan untuk agamamu dan kaum muslimin. Sungguh –wahai ananda-, di hadapan Allah kelak aku tidak akan menanyakan keadaanmu, karena aku tahu dimana dirimu dan dalam keadaan seperti apa engkau. Yang akan kutanyakan dihadapan Allah kelak tentangmu –wahai Ahmad- sejauh mana khidmatmu kepada agama Allah dan saudara-saudaramu kaum muslimin”.
Inilah surat yang ditulis ibu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kepada dirinya, setelah beliau memohon izin kepada sang ibu untuk tetap tinggal di Mesir.
Surat ini memberikan kesan yang cukup mendalam kepada kita tentang bagaimana sosok ibunda Ibnu Taimiyah. Wanita shalihah yang berorientasi akhirat. Wanita kuat yang lebih senang anaknya bermanfaat bagi orang banyak ketimbang untuk dirinya sendiri. Wanita cerdas yang menjadikan anaknya investasi untuk kehidupan setelah kematian.
Ibunda Ibnu Taimiyah memberikan kesan bahwa ia adalah wanita yang teguh jiwa dan hatinya. Semoga Allah merahmatinya.
Kedelapan: Saudari Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
Ia adalah seorang wanita yang cerdas dan senang menelaah buku-buku. Ibnu Hajar memujinya dengan mengatakan, “Ia adalah ibuku setelah ibuku (yang melahirkanku pen.)”. Ia adalah seorang wanita yang memiliki banyak ijazah dari ulama Mekah, Damaskus, Balbek, dan Mesir.
Ibnu Hajar mengatakan, “Ia mempelajari khat, menghafal banyak surat Alquran, termasuk orang yang banyak menelaah buku, dan ia pandai dalam hal itu”. Kata Ibnu Hajar pula, “Ia baik dan sangat sayang kepadaku”.
Karena begitu besar pengaruh saudarinya dalam kehidupannya, sampai-sampai Ibnu Hajar membuat syair tentangnya ketika ia meninggal.
Kesembilan: Ibu Abdurrahman bin an-Nashir
Amirul mukminin Abdurrahman bin an-Nashir adalah penguasa Andalusia yang kala itu tengah dilanda kegoncangan. Kemudian ia berhasil membuat wilayah itu stabil. Ia berhasil memimpin pasukannya masuk ke jantung wilayah Perancis dan sebagian wilayah Swiss. Kemudian menguasai Italia. Ia pun menjadi raja terbesar di Eropa.
Di belakangnya ada seorang wanita yang berhasil mendidik dan membinanya. Abdurrahman an-Nashir adalah seorang yatim yang dibesarkan ibunya. Sang ayah tewas dibunuh pamannya saat Abdurrahman masih kecil.
Kesepuluh: Ibu Sultan Muhammad al-Fatih
Setelah shalat subuh, Ibu Sultan Muhammad al-Fatih mengajarinya tentang geografi, garis batas wilayah Konstantinopel. Ia berkata, “Engkau –wahai Muhammad- akan membebaskan wilayah ini. Namamu adalah Muhammad sebagaimana sabda Rasulullah ?. Muhammad kecil pun bertanya, “Bagaimana aku bisa membebaskan wilayah sebesar itu wahai ibu?” “Dengan Alquran, kekuatan, persenjataan, dan mencintai manusia”, jawab sang ibu penuh hikmat.
Itulah ibu Muhammad al-Fatih, mendidik anaknya di waktu berkah pagi hari. Dia tidak membiarkan anaknya terbiasa dengan tidur di waktu pagi. Ia lakukan sesuatu yang menarik perhatian sang anak. Memotivasinya dengan sesuatu yang besar dengan dasar agama dan kasih sayang, bukan spirit penjajahan.
Ada kesamaan yang dapat kita baca dari kisah ibunda para ulama. Mereka menanamkan visi yang kuat pada diri sang anak, bukan sembarang visi. Visi tentang akhirat dan bagaimana seorang dapat meraih kebahagian abadi yaitu dengan mendekat pada Sang Pencipta. (w)
Sumber: https://kisahmuslim.com/5227-ibunda-para-ulama.html