BELAJAR rida dari Lukman dan anaknya. Terkadang, Ayah Bunda mendapati ananda tengah bersedih hati karena ada sesuatu yang dia inginkan tapi tidak dapat ia raih.
Kisah Lukman dan anaknya bisa menjadi sumber inspirasi dan pemahaman bahwa apa yng terjadi pada diri kita atau yang sering kita sebut sebagai takdir Allah adalah untuk kebaikan kita.
Sa’id bin Musayyab berkata, “Luqman berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, jika ada sesuatu yang menimpamu, entah engkau sukai atau engkau benci, maka katakanlah di dalam hatimu bahwa itu adalah yang terbaik bagimu.”
Baca Juga: Merias Diri untuk Suami dan Menggapai Rida Allah
Belajar Rida dari Lukman dan Anaknya
“Yang seperti ini belum bisa aku cerna sebelum aku mengetahui apa yang ayah katakana memang benar seperti itu,” ujar anak Lukman
“Sesungguhnya Allah telah mengutus seorang Nabi. Mari kita menemuinya karena dia akan menjelaskan apa yang kukatakan kepadamu.”
Lukman dan anaknya pun menempuh perjalanan yang jauh hingga berhari-hari. Mereka mengarungi padang pasir yang luas membentang.
Ketika perbekalan sudah habis dan keledai mereka sudah sangat lelah, di tengah terik matahari yang membakar ubun-ubun mereka, Lukman melihat bayang-bayang hitam dan asap mengepul di hadapannya.
“Bayang-bayang hitam adalah pepohonan dan asap mengepul adalah ddaerah perkampungan,” bisik Lukman pada dirinya sendiri. Dia tidak ingin berfikir buruk terhadap apa yang dia lihat.
Dalam keadaan lapar dan letih tiba-tiba anak Lukman menginjak sepotong tulang. Tulang itu menembus kakinya. Seketika itu ia tersungkur dan pingsan. Lukman langsung memeluk anaknya.
Ia mencabut tulang dari kaki anaknya dan membalut luka dengan sorbannya. Dia memandangi wajah anaknya dan menangis.
Lalu anaknya pun siuman dan berkata, “Ayah, engkau menangis padahal engkau berkata, yang demikian inilah yang terbaik bagiku.’
“Tentang tangisku ini, Nak. Aku ingin menebusmu dengan seluruh bagianku di dunia ini. Bagaimanapun aku seorang ayah yang memiliki rasa sayang sebagai ayah.
Tentang perkataanmu, boleh jadi yang dipalingkan darimu lebih besar dari musibah yang menimpamu saat ini. Boleh jadi apa yang menimpamu lebih ringan dari apa yang dipalingkan darimu.”
Ketika sedang berbincang, bayangan hitam dan asap mengepul nampak lagi di hadapan mereka. “Aku tidak melihat sesuatu pun. Boleh jadi Allahlah yang telah menciptakan apa yang telah kulihat tadi.”
Tiba-tiba datanglah seseorang yang menunggang kuda, mengenakan pakaian serba putih dan begitu gagahnya, “Bukankah engkau Lukman?” tanyanya.
“Benar. Siapakah engkau wahai hamba Allah?”
“Aku adalah jibril. Tidak ada yang bisa melihatku kecuali malaikat yang mendekatkan diri kepada Allah atau nabi yang diutus.
Sekalipun begitu, engkau masih bisa melihatku. Lalu apa yang dikatakan anakmu yang bodoh itu?”
“Apa engkau tidak mengetahuinya?”
“Aku tidak tahu sedikit pun urusan kalian berdua. Hanya saja aku akan melindungi kalian berdua. Rabb-ku telah memerintahkan kepadaku untuk menjungkirbalikkan kota itu dan seisinya.
Sementara orang-orang mengabarkan kepadaku jika kalian hendak datang ke kota itu. Lalu aku berdoa kepada Rabb-ku untuk menahan kalian menurut kehendak-Nya agar aku dapat menyusul kalian.
Maka Dia menahan kalian dengan musibah yang menimpa anakmu sehingga aku dapat menyusul ke sini. Jika bukan karena musibah itu, tentu kalian sudah lumat bersama lumatnya kota yang kalian tuju.”
Jibril mengusap kaki anak Lukman dan luka di kakinya itu langsung sembuh. Anak lukman pun langsung bisa berdiri tegak. Jibril mengusap kantung makanan dan air mereka.
Seketika kantung-kantung itu terisi penuh. Begitu juga dengan keledai mereka, dengan satu usapan tangan Jibril, keledai-keledai itu kembali segar dan kuat. Mereka melesat cepat mengantarkan Lukman dan anaknya kembali ke rumah. [Maya Agustiana/Cms]
*Sumber : Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah.