ChanelMuslim.com – Mulai dari detik-detik keislamannya, Abu Sufyan bin Harits mengejar dan menghabiskan waktunya dalam beribadat dan berjihad, untuk menghapus bekas-bekas masa lalu dan mengejar ketertinggalan selama ini.
Dalam perang-perang yang terjadi setelah pembebasan Mekkah ia selalu ikut bersama Rasulullah. Dan di waktu perang Hunain orang-orang Musyrik memasang perangkapnya dan menyiapkan satu pasukan tersembunyi, dan dengan tidak diduga-duga menyerbu Kaum Muslimin hingga barisan mereka porak-poranda.
Sebagian besar tentara Islam cerai berai melahirkan diri, tetapi Rasulullah tiada beranjak dari kedudukannya, hanya berseru: “Hai manusia! Saya ini Nabi dan tidak berdusta! Saya adalah pura Abdul Muthalib!
Maka pada saat-saat yang maha genting itu, masih ada beberapa gelintir sahabat yang tidak kehilangan akal disebabkan serangan yang tiba-tiba itu. Dan diantara mereka terdapat Abu Sufyan bin Harits dan puteranya Ja’far.
Baca Juga: Keraguan Itu Jalan Keyakinan Abu Sufyan bin Harits
Abu Sufyan bin Harits Mengejar Ketertinggalan
Waktu itu Abu Sufyan sedang memegang kekang kuda Rasulullah. Dan ketika dilihatnya apa yang terjadi, yakinlah ia bahwa kesempatan yang dinanti-nantinya selama ini, yaitu berjuang fi sabilillah sampai menemui syahid di hadapan Rasulullah, telah terbuka.
Maka sambil tak lepas memegang tali kekang dengan tangan kirinya, ia menebas batang leher musuh dengan tangan kanannya.
Pada saat itu Kaum Muslimin telah kembali ke medan pertempuran sekeliling Nabi mereka, hingga akhirnya Allah memberi mereka kemenangan yang mutlak.
Tatkala suasana sudah mulai tenang, Rasulullah melihat berkeliling, kiranya didapatinya seorang Mukmin sedang memegang erat-erat tali kekangnya.
Sungguh rupanya semenjak berkecamuk peperangan sampai selesi, orang itu tetap berada di tempat itu dan tak pernah meninggalkannya.
Rasulullah menatapnya lama-lama, lalu ia bertanya: “Siapa ini? Oh saudaraku Abu Sufyan bin Harits!” Dan demi didengarnya Rasulullah mengatakan “saudaraku”, hatinya bagaikan terbang karena bahagia dan gembira.
Ketika itu bangkitlah jiwa penyairnya, maka digubahnya pantun menyatakan kegembiraannya atas keberanian dan taufik yang telah dikaruniakan Allah kepadanya:
“Warga Ka’ab dan Amir sama mengetahui
Di pagi hari Hunain ketika barisan telah cerai berai
Bahwa aku adalah seorang Ksatria berani mati
Menerjuni api peperangan tak pernah nyali
Semata mengharapkan ridho Illahi
Yang Maha Asih dan kepada-Nya sekalian urusan akan kembali” [Ln]