ChanelMuslim.com –“Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak, mereka akan disetrika dengan setrika api neraka, menyetrika kening dan pinggang mereka di hari kiamat.
Setiap ia mendaki bukit, menuruni lembah memasuki kota, dan setiap Abu Dzar berhadapan dengan seorang pembesar, selalu kalimat itulah yang menjadi buah mulutnya.
Begitupun setiap orang melihatnya datang berkunjung, mereka akan menyambutnya dengan ucapan: “Beritakan kepada para penumpuk harta…!”
Baca Juga Kisah Sebelumnya: Lisan Abu Dzar Lebih Tajam daripada Pedangnya
Abu Dzar: Beritakanlah Kepada Para Penumpuk Harta!
Kalimat ini benar-benar telah menjadi panji-panji suatu misi yang menjadi tekad serta pendorong dalam membaktikan hidupnya, demi dilihatnya harta itu telah ditumpuk dan dimonopoli, serta jabatan disalahgunakan untuk memupuk kekuatan dan menguatkan keuntungan.
Serta disaksikan bahwa cinta dunia telah merajalela dan hampir saja melumari hasil yang telah dicapai di tahun-tahun kerasulan, berupa keutamaan dan keshalihan, kesungguhan dan keikhlasan.
Abu Dzar menujukan sasarannya yang pertama terhadap poros utama kekuasaan dan gudang raksasa kekayaan, yaitu Syria, tempat bercokolnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang memerintah wilayah Islam paling subur, paling banyak hasil bumi dan paling kaya dengan barang upetinya.
Mu’awiyah telah memberikan dan membagi-bagikan harta tanpa perhitungan, dengan tujuan untuk mengambil hati orang-orang terpandang dan berpengaruh dan demi terjaminnya masa depan yang masih dirindukannya, didambakan oleh keinginannya yang luas tidak terbatas.
Di sana tanah-tanah luas, gedung-gedung tinggi dan harta berlimpah telah menggoda sisa-sisa yang tinggal dari pemikul dakwah, maka Abu Dzar harus cepat mengatasinya, sebelum hal itu berlarut-larut, sebelum pertolonan datang terlambat hingga nasi telah menjadi bubur.
Pemimpin gerakan hidup sederhana inipun berkemas-kemas, dan secepat kilat berangkat ke Syria. Dan demi berita itu didengar oleh rakyat jelata, merekapun menyambut kedatangannya dengan semangat menyala penuh kerinduan dan mengikuti kemana perginya.
“Bicaralah, wahai Abu Dzar!” kata mereka: “Bicaralah, wahai shahabat Rasulullah!” Abu Dzar melepaskan pandang menyelidik ke arah orang-orang yang berkerumun.
Dilihatnya kebanyakan mereka adalah orang-orang miskin yang dalam kebutuhan. Lalu dilayangkan pandangannya ke arah tempat-tempat ketinggian yang tidak jauh letaknya dari sana, maka tampaklah olehnya gedung-gedung dan mahligai tinggi.
Berserula ia kepada orang-orang yang berhimpun sekelilingnya itu:
“Saya heran melihat orang yang tidak punya makanan di rumahnya, kenapa ia tidak mendatangi orang-orang itu dengan menghunuskan pedangnya!”
Tetapi segera pula teringat olehnya wasiat Rasulullah yang menyuruhnya memilih cara evolusi daripada cara revolusi, menggunakan kata-kata tandas daripada senjata pedang.
Maka ditinggalkannyalah bahasa perang dan kembali menggunakan bahasa logika dan kata-kata jitu. Diajarkannyalah kepada orang-orang itu bahwa mereka sama tak ubah bagai gigi-gigi sisir, bahwa semua mereka berserikat dalam rizki.
Dan tidak ada kelebihan seseorang dari lainnya kecuali dengan taqwa, dan bahwa pemimpin serta pembesar dari suatu golongan, haruslah yang pertama kali menderita kelaparan sebelum anak buahnya, sebaliknya yang paling belakang menikmati kekenyangan setelah mereka.
Bersambung… [Ln]