TAKZIM terhadap guru. Para dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) menolak terkait rencana UGM memberikan gelar profesor kehormatan kepada individu-individu non akademik.
Profesor merupakan jabatan akademik, bukan gelar akademik. Jabatan akademik memberikan tugas kepada pemegangnya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban akademik.
Kewajiban-kewajiban akademik tersebut tidak mungkin dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pekerjaan dan atau posisi di sektor non-akademik.
Demikian poin pertama yang tertulis dalam dokumen penolakan para dosen yang beredar di sosial media. Logika sederhananya, bagaimana mungkin seorang bisa menjadi guru besar tanpa pernah mengajar.
Penulis buku Journey to the Light, Uttiek M. Panji Astuti menulis, guru adalah sosok luar biasa yang berhak mendapatkan penghormatan yang luar biasa pula.
Sebagaimana kalimat masyhur yang diucapkan sahabat Ali ibn Abi Thalib.
“Aku adalah hamba dari siapa pun yang mengajariku walaupun hanya satu huruf. Aku pasrah padanya. Entah aku mau dijual, dimerdekakan atau tetap sebagai seorang hamba.”
Perkataan ini menunjukkan bentuk memuliakan dan pengabdian yang tinggi pada siapa pun saja yang pernah mengajarinya walaupun hanya satu huruf.
Bahkan, Ali ibn Abi Thalib mengibaratkan hubungan guru dengan murid ibarat tuan dengan budaknya. Sebagaimana budak, senantiasa siap menjalankan titah tuannya.
Padahal, Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat yang dijuluki Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai Babul Ilmi (pintu ilmu pengetahuan).
“Aku adalah kota ilmu dan Ali sebagai pintunya.”
Sudah sebegitu berilmunya pun, ia tetap memposisikan diri bagai budak pada orang yang mengajarinya.
Baca Juga: Angin adalah Keberkahan dan Juga Bisa Menjadi Azab
Takzim terhadap Guru
View this post on Instagram
Begitupun yang dilakukan Imam Syafi’i. Suatu kali murid-muridnya dibuat terkejut karena tetiba Sang Guru mencium tangan dan memeluk seorang yang tidak dikenal yang sekilas penampilannya terlihat “biasa saja”.
“Banyak orang yang lebih pantas engkau hormati. Ada apa dengan orang itu?”
“Ia adalah guruku. Ia kumuliakan karena pernah suatu hari aku bertanya kepadanya, bagaimana mengetahui seekor anjing telah dewasa?”
“Ia pun menjawab, untuk mengetahuinya, lihatlah apakah anjing itu mengangkat sebelah kakinya ketika hendak kencing. Jika iya, ketahuilah bahwa anjing itu telah berusia dewasa.”
Jawaban atas pertanyaan “sesederhana” itu pun sudah cukup bagi Imam Syafi’i untuk memuliakannya sebagai seorang guru.
Gelar guru besar haruslah diberikan pada mereka yang pernah mengajarkan ilmunya. Apa jadinya kalau ia tak pernah mengajarkan ilmu, namun digelari guru besar. Pantaskah?[ind]