ChanelMuslim.com- Guru merupakan aset paling penting dalam tingkat mutu sebuah lembaga pendidikan. Di tangan para gurulah proses kegiatan pendidikan bergulir. Jika proses berjalan mulus, output yang dihasilkan pun akan mulus dan optimal.
Hal itulah yang sepertinya ingin dijaga oleh pendiri dan pimpinan Jakarta Islamic School atau JISc, Fifi P. Jubilea, SE, MSc.. Hanya dalam kurun waktu beberapa tahun, lebih dari 60 persen guru-guru di JISc sudah diberangkatkan ke tanah suci: beribadah sambil belajar, peningkatan ruhani dan wawasan.
Jangan heran, kalau sebagian besar guru dan pengelola lembaga pendidikan yang sudah memiliki banyak cabang ini sudah terbiasa dengan dokumen passport. Selain ke tanah suci, mereka pun mendapat kesempatan menggali wawasan cakrawala dunia dengan berkunjung ke beberapa negara. Antara lain, Turki, Australia, Malaysia, Singapura, Belanda, dan lainnya.
Bayar? Semua biaya ditanggung JISc, bahkan termasuk biaya akomodasi sebelum, selama, dan sesudah perjalanan. Masya Allah!
Perjalanan Umrah yang Kesekian Kalinya
ChanelMuslim sangat beruntung mendapat kesempatan untuk ikut dalam rombongan kecil para guru ke tanah suci. Jumlah total rombongan termasuk kami hanya 15 orang. Jumlah yang efektif untuk fokus dalam peningkatan mutu ruhani dan wawasan.
Rombongan dipimpin langsung Fifi P. Jubilea atau biasa disapa Mam Fifi. Meski sebagai ibu usia 49 tahun, Mam Fifi tampil begitu prima. Mulai dari persiapan keberangkatan, pengarahan dan pembekalan ruhani dan wawasan selama di perjalanan, hingga pengawasan mutu acara perjalanan.
ChanelMuslim menyaksikan bagaimana luwesnya peran Mam Fifi di tengah anggota rombongan. Di satu sisi, ia berperan sebagai leader, sebagai guru dari para guru, dan sebagai teman yang bisa bercanda dan tertawa lepas bersama para rombongan.
Tidak heran jika ada semacam kemanjaan dari para guru terhadap Mam Fifi. Terutama saat menjelang santap makan selama perjalanan. Mam Fifi selalu memilih tempat makan yang terbaik untuk aset penting di dunia pendidikan ini.
Dan pada saat-saat seperti itu, ia membebaskan para guru yang ikut dalam rombongan itu untuk memilih sendiri menu yang mereka sukai. “Jangan pernah mikirin harga!” seperti itulah kira-kira yang terbayang dalam suasana di saat makan itu.
[gambar5]
Tampak warna bahagia dari wajah-wajah para guru saat itu. Kebahagiaan sebagai rasa syukur atas pengalaman yang boleh jadi tidak mereka alami di dunia nyata sehari-hari.
Kalau sudah begitu, tidak ada lagi sekat antara guru dan pimpinan. Tidak ada lagi pemisah atasan dan bawahan. Mereka terjalin dalam satu keluarga besar: Jakarta Islamic School.
Perjalanan diawali dari persiapan dan pengarahan yang dilakukan langsung oleh Mam Fifi. Ia tidak berbicara dengan gaya teks book, atau sistematis yang cenderung kaku; tapi dengan gaya bahasa rileks dan cenderung ke eksplorasi pengalaman yang pernah ia rasakan.
Satu hal yang selalu ditekankan dalam pengarahan itu: ini adalah perjalanan dari kita untuk kita. Artinya, seluruh anggota rombongan dituntut aktif, baik dalam hal mengurus diri dan koordinasi sesama anggota rombongan selama perjalanan maupun dalam penyerapan wawasan.
Jadi, tidak ada semacam guide khusus untuk rombongan ini. Atau semacam ustaz pembimbing. Kalaupun ada, sekadar bahan masukan, bukan hal yang utama.
Sesama anggota rombongan dituntut untuk bisa berbagi wawasan, pengalaman, dan keterampilan. Jangan terlalu berharap ada semacam pelayanan dari pihak ketiga selama perjalanan.
Seperti itulah ketika mereka membagi grup-grup kecil yang terdiri dari empat orang. Mereka dituntut untuk bisa mengatur barang bawaan sendiri, makanan, dan kegiatan acara selama perjalanan.
Tiba di Madinah
Sebelum menempati penginapan, anggota rombongan diingatkan untuk selalu terikat dalam kekompakan grup dan pimpinan rombongan. Jadi, tidak ada anggota rombongan yang dibiarkan bebas berkeliaran seenak dirinya sendiri.
[gambar1]
Meski dalam pelaksanaannya, grup dipersilakan untuk bergerak fleksibel selama masih dalam koridor kesatuan rombongan.
Saat di Madinah itu, Mam Fifi mengingatkan betapa pentingnya kehadiran ruhani dan keikhlasan untuk mengejar ridha Allah.
“Kita di sini untuk ibadah, memburu pahala dan ridha Allah, bukan sekadar jalan-jalan!” ucapnya.
Para anggota rombongan juga diingatkan untuk banyak berdoa untuk kebaikan bersama. Terutama untuk keberkahan lembaga pendidikan Jakarta Islamic School.
“Silakan kejar raudhah di Masjid Nabawi, untuk bisa meminta yang terbaik kepada Allah swt.,” lanjut Mam Fifi.
Di sela rutinitas ibadah, Mam Fifi menyempatkan untuk bisa menyampaikan pembekalan kepada seluruh anggota rombongan. Tema pembekalannya begitu khusus. Yaitu, tentang membangun kecintaan terhadap Nabi Muhammad saw. yang makamnya hanya berjarak beberapa puluh meter dari tempat berkumpul mereka.
Perjalanan ke Masjidil Haram
Sekitar tiga hari berada di kota Nabi, rombongan bertolak menuju Mekah. Bagi yang pria, sudah lengkap dengan busana ihram sejak keluar dari penginapan.
Setelah mengambil miqat di Bir Ali, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Mekah. Selama di perjalanan, lantunan Talbiyah kerap dikumandangkan. “Labbaikallahumma labbaik. Labbaika laa syarika labbaik. Innal hamdah wanni’mata laka wal mulk. Laa syarikalak.”
Lama perjalanan Madinah menuju Mekah kurang lebih 6 jam dengan kendaraan bus. Dengan masih mengenakan busana ihram bagi yang pria, mereka tetap dituntut aktif untuk mengurus keperluan termasuk penginapan dan pengurusan barang bawaan.
Sebelum memasuki Masjdil Haram di mana Ka’bah berada, Mam Fifi memberikan pengarahan singkat. Terutama dalam hal kesungguhan untuk bisa berada di tempat-tempat mustajab seperti di Multazam dan Hijr Ismail. “Silakan jika bisa mencium Hajar Aswad,” ucapnya.
[gambar2]
Agar barisan tetap solid, Thawaf pertama dalam rangkaian acara inti umrah itu, rombongan diminta untuk tetap solid dan saling membantu dalam barisan. Terutama menjaga barisan anggota rombongan akhwat.
Setelah pelaksanaan Thawaf usai, agenda dilanjutkan dengan shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim untuk kemudian istirahat sejenak dengan meneguk air zamzam yang sudah tersedia di sekitar lokasi.
Agenda pun dilanjutkan dengan pelaksanaan ibadah sai, yang berjalan dan berlari kecil dari Shafa ke Marwa.
Alhamdulillah, pelaksanaan ritual umrah rombongan JISc berjalan lancar tanpa hambatan. Meski waktu menunjukkan jam dua dinihari lebih, semangat masih memancar dari balik wajah anggota rombongan.
[gambar3]
Mereka tampak begitu haru penuh rasa syukur kepada Allah swt. atas segala kemudahan yang telah diberikan. Semua dalam keadaan sehat wal afiat.
Perjalanan Menuju Istanbul, Turki
Setelah bermalam tiga hari di Mekah dengan berbagai aktivitas ibadah, rombongan bersiap bertolak menuju istanbul, Turki. Dari bandara Jedah, perjalanan kurang lebih memakan waktu selama empat jam menuju bandara Istanbul.
Malam dingin menyambut kedatangan rombongan di Istambul. Suhu menunjukkan angka 16 derajat celcius. Dan akan terus menurun selama pergantian hari menuju Desember.
Saat itu, tak ada anggota rombongan yang tampil tanpa jaket, kaos kaki, dan aksesoris pakaian penghangat tubuh. Dingiiin!
Kalau di Madinah dan Mekah, hari-hari diisi lebih banyak dengan ibadah; di Istanbul kegiatan lebih banyak kepada penguatan wawasan tentang sejarah Islam di Turki. Terutama, saat pahlawan Islam Muhammad Al-Fatih berjaya memasuki kota yang saat itu bernama Byzantium di tahun 1453 M.
[gambar4]
Rombongan mengunjungi banyak tempat yang berkaitan dengan itu. Antara lain, Masjid Sultan Ahmad atau biasa disebut Blue Mosque, Aya Sofia, Musium Panorama Al-Fatih, dan lainnya. Sebuah rangkaian agenda yang melelahkan sekaligus mengasyikkan.
Setelah kurang lebih lima hari di Istanbul, rombongan pun bertolak ke Jeddah untuk kemudian melanjutkan perjalanan pulang menuju Jakarta. Sungguh sebuah perjalanan ruhani sejak tanggal 13 hingga 25 November 2019 ini yang menyetrum kesadaran baru tentang banyak hal: semangat ibadah, keluasan ilmu, jalinan persaudaraan, hingga tentang izzah atau kemuliaan umat Islam. (Mh)