MENGHADAP ke arah kiblat terlebih dahulu jika shalat di atas kendaraan. Seperti diketahui, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam biasa shalat di atas kendaraan tunggangannya ketika sedang bepergian.
Sebelum bertakbir memulai shalat, beliau terlebih dahulu menghadapkan kendaraannya kearah kiblat.
Baca Juga: Menyesuaikan Arah Kiblat
Menghadap ke Arah Kiblat Terlebih Dahulu jika Shalat di atas Kendaraan
Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, berkata, “Apabila Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hendak shalat tathwwu’ di atas kendaraanya, beliau menghadap kiblat lalu bertakbir untuk shalat, kemudian beliau tetap berada di atas kendaraan dan shalat menghadap kemana pun kendarannya berjalan.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Shalat tathawwu’, maksudnya adalah shalat sunnah. Dan “menghadap kiblat lalau bertakbir,” maksudnya yaitu apabila Rasulullah Shallallalhu Alaihi wa Sallam hendak shalat sunnah di atas kendaraannya, beliau menghadapkan binatang yang dikendarainya kearah kiblat terlebih dahulu, lalu mengangkat kedua tangannya untuk takbiratul ihram.
Sedangkan maksud dari “menghadap ke mana pun kendaraannya berjalan,” yaitu tidak berusaha menghadapkan binatang tunggangannya kearah kiblat lagi sekiranya ia berjalan melenceng dari arah kiblat setelah beliau masuk shalat.
Telah kami sampaikan sebelumnya, bahwa kendaraan yang dipakai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada waktu itu, sama saja dengan kendaraan yang kita pakai pada masa sekarang.
Akan tetapi, ada sedikit perbedaan dalam hal menghadapkannya kearah kiblat. Di mana hewan relatif lebih mudah dihadapkan ke kiblat daripada kendaraan.
Semacam kereta api, misalnya. Sebab, hewan tunggangan bisa dikendalikan dan diarahkan ke kiblat ketika hendak takbiratul ihram tanpa khawatir akan ditabrak atau menabrak hewan tunggangan lain, selain juga tidak begitu dikhawatirkan akan menabrak pohon dan bebatuan, misalnya.
Sedangkan jika kita naik bis (dan lain-lain), tentu sulit untuk mengatur agar menghadap kiblat terlebih dahulu. Selain itu, antara penumpang dan pengemudi juga berbeda tanggung jawab serta perannya di atas kendaraan yang dinaikinya.
Maksudnya, penumpang akan lebih mudah shalat di atas kendaraan kerena tidak sedang memegang kemudi. Namun ia tidak bisa secara mutlak menghadap kearah kiblat saat takbiratul ihram.
Adapun pengemudi, mungkin saja dia mengarahkan kendaraannya ke kiblat ketika hendak shalat, namun pasti akan terjadi hal yang tidak diinginkan jika dia melakukannya.
Ringkasnya, apabila kita sedang bepergian dan berada dia atas kendaraan kemudian hendak mengerjakan shalat, sekiranya memungkinkan sebaiknya kita menghadap kea rah kiblat terlebih dahulu sebelum takbiratul ihram.
Karena demikianlah yang biasa dilakukan Rasulullah Shalallallahu Alaihi wa Sallam jika beliau akan shalat di atas kendaraanya.
Namun, sekiranya kita kesulitan menghadap ke arah kiblat ketika akan shalat di atas kendaraan, maka dengan penuh tawakal kita tetap bertakbir dan shalat. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak hendak menyulitkan hamba-hambanya dan tidak membebani mereka di luar batas kemampuannya. Dan insya Allah, shalat kita tetap sah.
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kemampuannya.” (Al-Baqarah: 206)
Kemudian, masih dalam lanjutan ayat tersebut yang merupakan doa seorang mukmin kepada Tuannya sebagai menifetasi pengakuan atas kelemahan dirinya sekaligus kemurahan Allah terhadap hamba-Nya, disebutkan,
“Wahai Tuhan kami, janganlah engkau bebankan kepada kami apa yang tidak sanggup kami melaksanakannya. Maafkan kami, ampunilah kami, dan sayangilah kami.” (Al-Baqarah:286) [Cms]
(Sumber: 165 Kebiasaan Nabi, Abduh Zulfidar Akaha, Pustaka Al-Kautsar)