MUHAMMAD berhasil menundukkan kesombongan para penguasa dan raja-raja. Beliau juga berhasil mengangkat harkat martabat keibuan ke atas cakrawala yang tidak akan tertandingi oleh gelimang kekayaan maupun megahnya kedudukan.
Sungguh beliau akan mengubahmu, wahai ibu yang hina dan rendah menjadi ibu yang baik dan penyayang, membangkitkan kedamaian, menghidupkan jiwa kemanusiaan sebagai tanda cinta beliau, dan menjadi manusia yang beliau hormati dan banggakan. Rasulullah akan selalu menjadi kebanggaan para ibu yang telah mengabadikan para pembawa cahaya kehidupan sepanjang masa, para pencipta sejarah sejak masa azali hingga akhir dunia. Putra satu-satunya yang mulia ini telah menghadiahkan mahkota langit bagi ibunda tercinta.
Aminah adalah wanita Quraisy yang terbaik, baik nasab maupun kedudu- kannya. la adalah ibu yang selalu diberkahi, ibu Muhammad al-Mushtafa penutup para nabi dan rasul, pembawa risalah yang diturunkan dari langit. Ibu yang dikelilingi oleh kabar gembira karena namanya abadi selama-lamanya. Ibu yang suci nan mulia, Aminah binti Wahb bin Abdi Manaf bin Zahrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr.
Baca juga: Kisah Terbaik Abu Bakar
Kisah Kemuliaan Aminah: Ibunda Penyayang Sang Pembawa Cahaya
Aminah adalah putri pembesar Bani Zahrah. Ibunya adalah Labirah binti Abdil ‘Uzza bin Utsman bin Abd ad-Dâr bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr. Ia lahir pada pertengahan abad ke-6 M, dari keluarga yang dianggap sebagai kabilah yang paling terhormat dan memiliki keturunan termulia. Kemuliaan inilah yang dibanggakan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
“Allah terus-menerus memindahkanku dari rusuk yang baik ke rahim yang suci, terpilih, dan terdidik. Tiada jalan yang bercabang menjadi dua, kecuali aku berada di jalan yang terbaik.”
Dalam suasana kebahagiaan yang berlangsung selama tiga hari, Abdullah bin Abdul Muththalib menikahi Aminah binti Wahb, ibu sang penutup para nabi. l’ada malam pertama, Aminah terbangun di tengah malam dengan gemetar karena mimpi yang menghampirinya. Ia bercerita kepada Abdullah bahwa dirinya bermimpi seolah ada seberkas cahaya merekah dari dirinya yang lembut kemudian menerangi dunia di sekelilingnya. Bahkan, ia seakan melihat istana-istana di negeri Syam.
Dalam kondisi tersebut, Aminah men- dengar ada suara yang berbicara kepadanya: “Sesungguhnya, engkau telah mengandung junjungan umat ini.” Aminah teringat bahwa sebelumnya seorang juru ramal dari Quraisy, Sauda’ binti Zahrah al-Kilabiyyah, pernah mengatakan kepada Bani Zahrah, “Sungguh di antara kalian akan ada seorang pembawa peringatan,” atau “Orang yang melahirkan seorang pembawa peringatan.” Ketika mereka (Bani Zahrah) memperlihatkan anak-anak gadis mereka, Sauda’ menunjuk kepada Aminah.
Baca juga: Kisah Nyata Tentang Muqobalah Madinah
Abdullah juga teringat bahwa putri Naufal bin Asad al-Qurasyiyyah- saudara wanita Waraqah bin Naufal yang pernah menawarkan diri untuk dinikahi oleh Abdullah sebelum menikahi Aminah, tetapi Abdullah menolak, memandang Abdullah pada hari pernikahannya. Namun, ia kemudian ber- paling. Ketika ditanya tentang hal itu, ia pun menjawab, “Selama ini engkau dilindungi oleh cahaya yang ada pada dirimu. Namun, kini cahaya itu telah meninggalkanmu. Karena itu, aku tidak membutuhkanmu lagi.”
Abdullah melewatkan sepuluh hari bersama Aminah. Selanjutnya, ia bergabung dengan suatu kafilah yang berjalan ke utara, menuju negeri Syam. Aminah merasa takut dan khawatir. Abdullah pun berusaha menenangkan sambil melepaskan diri dari kedua tangan Aminah. Sementara itu, kegelisahan dan kekhawatiran masih mencekam dalam kesadaran Aminah.
Satu bulan setelah kepergian sang suami, Aminah merasakan dirinya sedang hamil dan mulai diliputi kerinduan kepada Abdullah. Ia seolah ingin terbang membawa kabar gembira itu kepada Abdullah. Hari-hari terasa berjalan begitu lambat hingga saat kepulangan Abdullah pun tiba. Aminah berdiri di dalam rumah menanti masuknya Abdullah dan menanti budak wanitanya, Ummu Aiman, untuk segera menyampaikan kabar gembira itu.
Akan tetapi, yang datang justru ayah Aminah ditemani oleh Abdul Muththalib. Mereka berdua menasihati agar Aminah bersabar dan banyak berdoa karena Abdullah tertinggal bersama beberapa pamannya di Yatsrib disebabkan sakit yang ia derita. Beberapa hari kemudian, terdengarlah kabar bahwa Abdullah telah meninggal dan dimakamkan di Yatsrib.
Saat itu Abdullah masih menjadi seorang pengantin yang belum sempat melihat istrinya untuk kedua kali. Umurnya ketika itu belum lebih dari delapan belas tahun. Berita duka itu pun begitu mengejutkan Aminah. Hatinya merasa sangat sedih dan berduka yang tak tertahankan atas kepergian Abdullah untuk selamanya.
Saat melahirkan pun tiba pada malam Senin bulan Rabi ul Awal tahun Gajah. Saat itu Aminah hanya seorang diri yang dihimpit oleh ketakutan. Namun, Aminah merasakan ada cahaya yang menyelimuti dunianya. Ia melihat seakan semua wanita mengelilingi tempat tidurnya.
Mereka adalah putri-putri Hasyim dan beberapa di antaranya adalah Maryam binti Imran, Asiyah istri Firaun, dan Hajar ibu Ismail. Namun, kemudian ia sadar pun bahwa semuanya hanyalah bayang-bayang belaka. Ketika fajar merekah, Aminah telah melahirkan seorang bayi suci yang diselimuti oleh cahaya dari segala arah.
Baca juga: Kisah Sa’ad bin Abi Waqqash dengan Ibunya
Tidak lama setelah itu, Aminah mengirim bayinya yang baru lahir itu ke pedalaman perkampungan Arab untuk disusui dan selama lebih dari dua tahun, Aminah pun harus rela tidak dapat melihat sang bayi. Ketika sang anak kembali, Aminah mulai mendidiknya dengan baik, mencurahkan segenap kasih sayang dan perhatian bagi sang anak. Sang anak tumbuh dengan cepat hingga menampakkan tanda-tanda sebagai seorang laki-laki agung, padahal baru berusia enam tahun.
Tepat di sebuah tempat antara Mekah dan Madinah, antara rumah Aminah dan makam suaminya, di tengah padang pasir serta panas yang menyengat, bertiuplah badai yang panas membakar. Aminah berjuang melawan gelombang badai pasir dan kerasnya perjalanan hingga ia mengalami kelelahan yang sangat berat.
Ia pun berhenti di tempatnya dan menyadari bahwa ajalnya telah dekat di depan mata. Aminah mendekap erat putra semata wayangnya. Ia rangkul sang anak dengan penuh kasih sayang dan perasaan seorang ibu yang mencintai dunia di wajah anaknya yang bersih bersinar. Air matanya bercucuran dengan deras sementara sang anak memanggil dan memberi semangat. Tiba-tiba, kedua tangan Aminah melemah dan cahaya matanya meredup.
Dengan suara terengah, Aminah berkata, “Setiap yang hidup akan mati. Setiap yang baru akan lusuh. Setiap yang besar akan fana. Aku akan mati, tetapi kenangan akan abadi karena aku telah meninggalkan sebuah kebaikan dan melahirkan kesucian.”
Dalam sekejap, ibu sang pembawa risalah ini berada di antara ada dan tiada. Badai yang menerjang itu telah mereda. Datanglah maut, sepi dan tenang tanpa dikeruhkan oleh tangisan anak yang malang. Muhammad menunduk dan menghambur kepada jasad ibunya sambil memanggil-manggil. Namun, tidak ada yang ia dapat dengar selain kesunyian yang mencekam.
Hari demi hari dan tahun demi tahun berjalan begitu cepat. Sepanjang perjalanannya dalam kurun waktu 34 tahun kemudian, Aminah binti Wahb tercatat dalam daftar tokoh-tokoh abadi sepanjang masa sebagai ibu seorang nabi dari Arab yang ummi, Muhammad.
Sumber: Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam – Dr. Bassam Muhammad Hamami
[Vn]