SEBUAH tulisan dari Uttiek M. Panji Astuti berjudul: Ëlegan dalam Perdebatan” mengulas tentang diskusi seorang ulama dengan atheis.
“Di dunia ini adakah negeri yang dinamai London, Washington, dan Moskow?” tanya A Hasan, seorang ulama cendekiawan dari Pesantren Persatuan Islam, Bangil.
“Ada,” jawabnya lawan bicaranya.
“Apakah Tuan sudah pernah ke negeri-negeri itu?” Lanjut A Hasan.
“Belum,” jawabnya.
“Tuan percaya adanya negeri itu meskipun belum pernah ke sana, karena perkataan orang-orang. Dengan kata lain, terlalu banyak perkara yang kita terima dan akui adanya semata-mata dengan kepercayaan, bukan dengan panca indera,” tegas A Hasan yang disambut tepuk tangan.
Perdebatan itu terjadi antara A Hasan dengan M Ahsan, seorang ateis, yang memulainya dengan pertanyaan,
“Saya mau Tuan A Hasan buktikan adanya Tuhan dengan panca indera dan perhitungan dan berbentuk. Karena tiap-tiap yang berbentuk, seperti kita semua, mestinya dijadikan oleh yang berbentuk pula.”
Perdebatan legendaris itu terjadi di Gedung Al-Irsyad, Surabaya, tahun 1955, sebagaimana tertulis dalam buku “Adakah Tuhan?” yang ditulis sendiri oleh A Hasan.
Sejatinya, debat bukanlah hal asing dalam khazanah keilmuan Islam. Islam memiliki tradisi debat dalam kooridor keilmuwan yang panjang.
Namun dalam Islam, debat bukanlah tujuan, kecuali jika perdebatan itu membuahkan hasil. Jika debat tanpa hasil, maka hanya membuang-buang waktu alias omong kosong semata.
baca juga: Hindari Debat Agama
Elegan dalam Perdebatan
Dalam berdebat pun ada adab agar tidak terjebak emosi sehingga merusak ukhuwah. Seperti mengizinkan lawan bicara menyampaikan pemikirannya, menghindari sikap menghakimi, dan ada konklusi dari perdebatan tersebut.
Ulama terdahulu telah mencontohkan indahnya berdebat. Seperti tersebut dalam kisah Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dan Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri.
View this post on Instagram
Suatu ketika, dua imam besar ini dipertemukan dalam perdebatan alot. Keduanya sama-sama mempertahankan pendapat masing-masing disertai argumentasi yang kuat.
Mereka berbeda pendapat tentang kulit bangkai yang bisa suci dengan disamak.
Menurut Imam Syafi’i, kulit bangkai selamanya tidak dapat disucikan dengan cara disamak. Sebagaimana tersebut dalam hadis:
“Sungguh, aku memang telah beri dispensasi kepada kalian tentang kulit-kulit bangkai (yang suci dengan disamak). Ketika suratku ini kalian terima, maka jangan sekali-kali memanfaatkan kulit dan urat bangkai lagi.” [HR Abu Daud dan Ahmad].
Sebaliknya, Imam Sufyan ats-Tsauri berpendapat sebaliknya. Menurutnya, kulit bangkai bisa suci dengan cara disamak, sebagaimana tersebut dalam hadis:
“Mengapa tidak kalian ambil kulitnya, lalu menyamaknya sehingga bisa dimanfaatkan? Para sahabat menjawab, ‘Ini sudah jadi bangkai’. Lalu, nabi bersabda, ‘Bangkai itu hanya haram dimakan’.” [HR Muslim].
Menariknya, setelah lama merenung, Imam Syafi’i malah menarik pendapatnya dan lebih memilih pendapat Imam Sufyan ats-Tsauri.
Demikian halnya Imam Sufyan ats-Tsauri, secara bersamaan juga menarik pendapatnya dan berpindah kepada pendapat Imam asy-Syafi’i.
Begitulah indahnya perdebatan yang dicontohkan dalam Islam.[ind]