BEBERAPA orang enggan untuk berdakwah karena merasa bahwa dakwah hanyalah tugas orang-orang yang telah terbebas dari kesalahan. Padahal untuk dakwah seseorang tidak disyaratkan atau tidak harus menunggu sempurna namun dengan berdakwah ia akan perlahan menjadi sosok yang lebih bertanggung jawab terhadap perbuatannya.
Tentu pemahaman dawah di sini adalah menyampaikan dan melakukan kebaikan yang mengaruhi lingkungan sekitarnya.
Yang menjadi kritik keras adalah saat seseorang berdakwah namun tidak memiliki usaha untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan yang ia sampaikan.
لاَ تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وَتَأتِى مِثْلَه ُ.عَارٌ عَلَيْكَ إِذَا فَعَلْتَ عَظِيْمٌ
“Jangan kau melarang satu perbuatan, sedang engkau mengerjakannya.”
“Sungguh aib yang sangat besar bagimu, jika kau melakukannya.”
إِبْدَأ بِنَفْسِكَ فَإنَّهَا عَنْ غَيِّهَا .فَإءذَا إنْتَهَيْت َفَأَنْتَ حَكِيْمٌ
“Mulailah dengan dirimu sendiri dan jagalah dirimu dari bujuk rupanya.”
“Jika engkau mampu mengatasinya, maka engkau adalah orang yang bijak.”
Baca Juga: Napak Tilas Perjalanan Dakwah Nabi di Thaif
Dakwah Tidak Menunggu Sempurna
Ustadz Faisal Kunhi M.A memberikan beberapa penjelasan terkait ungkapan di atas:
1. Sebaik-baik dakwah adalah dakwah lisan yang diikuti dengan bahasa perbuatan, sebab dakwah yang kosong dari aksi adalah dakwah yang penuh dengan kedustaan.
2. Allah mengingatkan para penyampai kebaikan:
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff: 3)
Kemudian Allah mencela orang-orang yang berkata-kata tersebut. Allah membenci mereka dengan kebencian yang amat besar.
{Kabura} artinya agung dan besar. {Maqtan} adalah kebencian yang sangat besar di sisi Allah bagi kalian, akibat ucapan kalian yang tidak kalian laksanakan, demikian jelas Prof. Dr. Wahbah Zuhaili.
3. Dalam sebuah hadis disebutkan tentang hukuman orang yang menyelisihi lisannya dari Usamah bin Zaid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِى النَّارِ ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِى النَّارِ ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ ، فَيَقُولُونَ أَىْ فُلاَنُ ، مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ
Ada seseorang yang didatangkan pada hari kiamat lantas ia dilemparkan dalam neraka. Usus-ususnya pun terburai di dalam neraka. Lalu dia berputar-putar seperti keledai memutari penggilingannya. Lantas penghuni neraka berkumpul di sekitarnya lalu mereka bertanya,
“Wahai fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu dahulu yang memerintahkan kami kepada yang kebaikan dan yang melarang kami dari kemungkaran?”
Dia menjawab, “Memang betul, aku dulu memerintahkan kalian kepada kebaikan tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya. Dan aku dulu melarang kalian dari kemungkaran tapi aku sendiri yang mengerjakannya.”
(HR. Bukhari no. 3267 dan Muslim no. 2989)
4. Orang bijak berkata: “Perkataan itu jika belum disampaikan maka ia masih di bawah kuasa kita, namun jika sudah disampaikan maka kita berada dalam kuasanya”.
5. Jangan menunggu sempurna untuk berdakwah justru dirimu akan menjadi sempurna dengan berdakwah.
6. Seseorang yang menunggu sempurna untuk berdakwah maka ia berada dalam dua kemungkinan, pertama ia tidak akan berdakwah sampai mati, kedua ia orang yang sesat, karena tidak ada orang yang sempurna; demikian tutur Ibnu Taimiyah.
7. Ada yang berkata pada Al-Hasan Al-Bashri,
إنَّ فُلاَناً لاَ يَعِظُ وَ يَقُوْلُ : أَخَافُ أَنْ أَقُوْلَ مَالاَ أَفْعَلُ فَقَالَ الحَسَنْ : وَ أَيُّناَ يَفْعَلَ مَا يَقُوْلُ وَدَّ الشَّيْطَانُ أّنَّهُ ظَفَرَ بِهَذَا فَلَمْ يَأْمُرْ أَحَدْ بِمَعْرُوْفٍ وَ لًمْ يَنْهَ عَنْ مُنْكَرٍ
“Sesungguhnya ada seseorang yang enggan memberi nasihat dan ia mengatakan, ‘Aku takut berkata sedangkan aku tidak mengamalkannya.’ Al-Hasan Al-Bashri berkata, ‘Apa ada yang mengamalkan setiap yang ia ucapkan?’
Sesungguhnya setan itu suka manusia jadi seperti itu. Akhirnya, mereka enggan mengajak yang lain dalam perkara yang makruf (kebaikan) dan melarang dari kemungkaran.”
8. Malik berkata dari Rabi’ah bahwasanya Sa’id bin Jubair berkata,
. لَوْ كَانَ المَرْء ُلاَ يَأمُرُ باِلمَعْرُوْفِ وَ لاَ يَنْهَى عَنْ المُنْكَرِ حَتَّى لاَ يَكُوْنَ فِيْهِ شّيءٌ مَا أَمَرَ أَحَدٌ بِمَعْرُوْفٍ وَ لاَ نَهْىَ عَنْ مُنْكَرٍ قَالَ مَالِكْ : وَ صَدَّقَ وَ مَنْ ذَا الّذِي لَيْسَ فِيْهِ شَيْءٌ
“Seandainya seseorang tidak boleh beramar makruf nahi mungkar (saling mengingatkan pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, pen.) kecuali setelah bersih dari dosa, tentu tidak ada yang pantas untuk amar makruf nahi mungkar.”
Malik lantas berkata, “Iya betul. Siapa yang mengaku bersih dari dosa?”
9. Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah berkhutbah pada suatu hari. Ia menasihati,
إنِّي لَأَقْوْلُ هَذِهِ المَقاَلَةَ وَ مَا أَعْلَم ُعِنْدَ أَحَدٍ مِنَ الذُّنُوْبِ أَكْثَرَ مِمَّا أَعْلَمُ عِنْدِي فَاَسْتَغْفِرُ اللهَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْهِ
“Sungguh aku berkata dan aku lebih tahu bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki dosa lebih banyak dari yang aku tahu ada pada diriku. Karenanya aku memohon ampun pada Allah dan bertaubat pada-Nya.”
[Ln]