JANGANLAH kebencianmu terhadap suatu kaum menjadikanmu tidak mampu berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Ada kisah menarik saat Rasulullah sudah menetap di Madinah. Kisahnya tentang sembilan ayat Al-Qur’an yang membela keadilan seorang Yahudi yang difitnah mencuri.
Suatu hari, seorang sahabat Nabi bernama Qatadah bin An-Nu’man kehilangan baju perang. Tak ada petunjuk apa-apa tentang siapa yang mencuri.
Orang-orang di sekitar Qatadah mencurigai Thu’mah bin Ubairiq. Orang asli Madinah ini memang beberapa kali kedapatan mencuri.
Bagaimana Thu’mah berhasil mencuri baju perang seorang mujahid kenamaan di perang Uhud?
Rupanya, Thu’mah mencuri dengan cara yang canggih. Ia memasukkan baju perang itu kedalam karung tepung terigu. Dengan begitu, kalaupun ada orang yang melihat Thu’mah membawa sesuatu, sesuatu itu adalah karung terigu.
Kecanggihan yang kedua, Thu’mah tidak langsung membawa hasil curiannya ke rumahnya. Tapi, ia titipkan ke seorang tetangganya yang bernama Zaid bin As-Samin. Ia warga Madinah keturunan Yahudi.
“Aku titipkan barang ini di rumahmu sebentar,” ucap Thu’mah kepada Zaid. Dan Zaid pun tanpa curiga mengiyakan.
Kembali ke Qatadah bin An-Nu’man yang mulai mencurigai Thu’mah, bergegas mencari Thu’mah ke rumahnya. Ia bersama sahabat lain menggeledah rumah Thu’mah. Tapi, barang itu tak ditemukan.
Tapi, Qatadah mencurigai sesuatu di sekitar perjalanan dari rumah Thu’mah. Yaitu, adanya tumpahan tepung di sepanjang jalan. Qatadah dan yang lainnya menelusuri jejak tumpahan tepung itu. Dan akhirnya, jejak itu mengantarkan mereka ke rumah si Yahudi: Zaid bin As-Samin.
Setelah menjelaskan ke Zaid, Qatadah langsung menggeledah gudang Zaid. Dan benar saja, jejak itu tertuju pada sebuah karung terigu yang ada di gudang di rumah Zaid. Setelah diperiksa, ternyata isi karung itu memang ada baju perangnya yang hilang.
Qatadah menanyakan Zaid tentang baju perangnya, kenapa bisa ada di rumah Zaid. Dengan tenang Zaid menjawab, “Barang itu titipan dari Thu’mah bin Ubairiq!”
Qatadah dan sahabat yang lain pun menanyakan ke Thu’mah. Tapi Thu’mah menolak perkataan Zaid. “Saya tidak pernah menitipkan sesuatu ke Zaid!” kilahnya.
Pada saat itu, Zaid bingung harus bagaimana. Pasalnya, ia tidak punya saksi tentang penitipan barang itu. Faktanya, barang curian yang dicari-cari memang ada di rumah Zaid.
“Orang Yahudi ini memang patut dicurigai, ia memang yang mencuri baju perang Qatadah!” ucap Thu’mah yang didampingi anggota kabilahnya.
Akhirnya, masalah rumit itu disampaikan Qatadah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah pun memanggil dua pihak tersebut: Zaid dan Thu’mah.
Zaid pun hadir sendirian, sementara Thu’mah datang didampingi anggota kabilahnya. Mereka memberikan dukungan kepada Thu’mah.
Dari sudut pandang hukum syariat, memang posisi Zaid yang paling dirugikan. Barang bukti curian ada di rumahnya, sementara tak ada saksi yang menguatkan ucapannya kalau barang itu titipan Thu’mah.
Hampir saja Rasulullah menjatuhkan hukuman kepada Zaid, si Yahudi yang dituduh mencuri oleh warga asli Madinah. Barang yang dicuri juga milik sahabat Nabi yang juga pejuang di Perang Uhud: Qatadah bin An-Nu’man.
Saat itu, turunlah firman Allah subhanahu wata’ala sebanyak sembilan ayat. Ayat-ayat itu terdapat di Surah An-Nisaa ayat 105 hingga 112.
Isi ayat itu menjelaskan tentang nilai keadilan Islam untuk semua manusia, keharusan berhati-hati dalam memutuskan hukum, dan akhirnya menjelaskan siapa pencuri yang sebenarnya, meskipun tidak menyebut nama.
Di antara ayat itu berbunyi, “Dan siapa yang berbuat kesalahan atau dosa, kemudian dia tuduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sungguh, dia telah memikul suatu kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. An-Nisaa: 112)
**
Kisah asbabun nuzul atau sebab turunnya ayat ini mengingatkan kita bahwa keadilan Islam untuk semua manusia, tanpa kecuali.
Di sisi lain, sekaligus sebagai pengingat bahwa jangan sampai kebencian kita terhadap suatu kaum menjadikan kita tidak mampu berlaku adil. Bersikap adillah kepada siapa pun, meskipun terhadap kelompok yang kita benci. (QS. Al-Maidah: 8)
Belajarlah bersikap adil mulai dari lingkungan terdekat kita: keluarga. Jangan sampai ketidaksukaan terhadap satu anggota keluarga menjadikan kita bersikap zalim terhadapnya. Begitu pun terhadap tetangga dan lingkungan lainnya.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. [Mh]