AMANAH kekuasaan. Lebih dari 11 ribu petugas polisi akan berpatroli di jalan-jalan London untuk penobatan Raja Charles pada Sabtu (6/5) esok hari.
Acara itu akan menjadi seremonial terbesar yang diadakan di ibu kota Inggris selama 70 tahun terakhir.
Dilansir Reuters, pasukan keamanan telah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mempersiapkan acara tersebut, yang akan dihadiri sekitar 100 kepala negara serta kerumunan besar penonton.
Ribuan personel militer akan ambil bagian dalam prosesi tersebut.
Di balik kemegahan acara itu, rakyat Inggris banyak yang tidak menginginkan kelanjutan monarki.
Mereka tak ingin pajak besar yang dibayarkan digunakan untuk mengongkosi kehidupan keluarga kerajaan yang penuh skandal.
Apalagi yang akan dinobatkan menjadi raja adalah Charles dengan segala track record perselingkuhannya dengan Camilla yang akan dinobatkan sebagai permaisuri Britania Raya.
Bagaimana dengan Charles sendiri? Sepertinya ia bahagia-bahagia saja. Seumur hidupnya, selama 74 tahun, ia telah menanti prosesi esok hari.
Amanah Kekuasaan
Penulis buku Journey to the Light, Uttiek M. Panji Astuti menulis tentang Coronation ini. Bagi sebagian besar manusia, diberi kuasa menjadi raja adalah anugerah yang tiada kira.
Sementara, Islam telah memberikan contoh nyata melalui manusia-manusia terpilih, bagaimana seharusnya menyikapi kekuasaan yang terberi.
Seperti yang tercermin dalam pidato Umar ibn Khattab saat dibaiat menjadi khalifah.
“Saudara-saudaraku, aku hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak karena segan menolak tawaran Khalifah Abu Bakar, aku enggan memikul tanggung jawab ini.
Ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku. Ya Allah aku sangat lemah, maka berikanlah kekuatan. Ya Allah aku ini kikir, jadikanlah aku dermawan bermurah hati.”
Lanjutnya, “Allah telah menguji kalian dengan diriku dan menguji diriku lewat kalian. Sepeninggal sahabat-sahabatku, sekarang aku ada di tengah-tengah kalian.
Tidak ada persoalan kalian yang harus aku hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain kecuali kepadaku.”
Umar ibn Khattab begitu tawadhu’ dan merasakan betapa beratnya amanah yang harus dipikul sejak hari pertama ia mendapat kuasa.
Baca Juga: Putra Mahkota Saudi Umumkan Proyek 15 Tahun untuk Revitalisasi Kota Jeddah
View this post on Instagram
Begitupun yang terjadi pada cicitnya, Umar ibn Abd Azis. Sebagaimana yang tertulis di buku “Biografi Umar bin Abdul Aziz: Khilafah Pembaru dari Bani Umayyah” karya Prof Dr. Ali Muhammad ash-Shallabi.
Begitu mengetahui kabar penunjukannya, Umar langsung mengucapkan, “Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un.”
Padahal pengangkatannya sebagai khalifah didukung oleh para bangsawan maupun penduduk negeri. Masyarakat dan tetua di Madinah sepenuh hati mendukungnya.
Namun, figur berjulukan ar-Rasyid Asyajj Bani Umayyah ini tidak larut dalam euforia. Seusai dibaiat, ia berpidato di hadapan rakyatnya.
“Aku tidak menghendaki jabatan khalifah. Aku tidak pernah diajak musyawarah atas jabatan itu, juga tidak pernah memintanya. Maka, cabutlah baiat itu dan pilihlah yang kalian kehendaki.”
Seketika, rakyat yang berkumpul berseru, “Sungguh kami memilih engkau, wahai Amirul Mukminin!”
Merasa tak bisa menghindar lagi, ia pun berkata, “Taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah. Apabila aku maksiat kepada Allah, maka tidak ada (kewajiban) kalian taat kepadaku.”
Usai menyampaikan pidato iftitah, Umar pulang ke rumahnya dengan wajah bermuram durja. Kepada istrinya, ia mengungkapkan isi hatinya.
“Aku telah diuji Allah dengan jabatan ini dan aku teringat orang-orang miskin, janda-janda tua, dan mereka yang rezekinya sedikit. Aku pun teringat para tawanan perang dan fakir miskin. Kelak, mereka akan mendakwaku di akhirat.”
Begitulah seharusnya amanah kekuasaan itu disikapi. Tahun ini adalah tahun politik di negeri tercinta ini. Semoga mereka yang berkontestasi segera menginsafi.[ind]