SISA makanan untuk suami dan anak-anak. Inilah kisah keluarga yang hanya memberi sisa pada pasangannya. Suami hanya memberikan sisa waktu, istri memberikan sisa makanan dan anak hanya mendapat sisa perhatian dan pemikiran.
“Ayo makan, Mbak! Ini saya buatkan gulai asam padeh, temannya kerupuk kulit. Cuma jangan banyak-banyak karena Mbak nanti bisa nyobain nasi bakar. Ada satu catering yang jual.
Nasi bakar ini saya buat sendiri lho Mbak, dibantu si Yus juga sih. Dalemannya saya yang ramu. Nah, kalau Mbak mau yang di mangkuk besar itu ada bakso tahu yang rasanya mirip dengan yang di restoran di Mal.
Cobain deh Mbak! Memang bentuknya agak beda. Resepnya saya dapat langsung dari tukang masaknya,” urai Mbak Ratih, dengan bangga dalam sebuah acara pengajian yang biasanya diakhiri dengan makan siang bersama.
Terdengar suara gembira para tamu yang terdiri dari ibu-ibu dari yang gemuk sampai yang langsing. Semuanya memerlukan tenaga dan keinginan ekstra untuk menahan hasrat berdiet.
“Ya sudah, dietnya besok saja ya Jeng! Hari ini batalin program dulu,” cetus Bu Rini semangat sambil mencerabut bihun untuk teman bakso tahu.
Sekalian sajalah tangannya sibuk besok puasa ayyamul bidh, puasa tiga hari tengah bulan. Sekarang sahurnya, karena puasanya tiga hari.
“Berarti kita makannya boleh tiga piring kan, Mbak Ratih!” usul Bu Yana semangat yang diiringi tawa renyah kawan-kawannya.
Tak lama kemudian semua hidangan di meja sudah hampir tinggal sisa-sisanya. Bakso tahu tinggal kuahnya dan beberapa butir bakso. Sate ayam yang nongol belakangan pun hanya tinggal bumbu-bumbunya saja.
Sedikit salad buah yang hanya tersisa beberapa butir nata de coco dalam sirup merah. Semuanya membuat Bu Ratih tersenyum bangga melihat kawan pengajiannya makan dan minum dengan lahap tidak ingat bahwa suami dan anak-anaknya belum disisakan sedikit pun.
Sore yang cerah, sebelum waktu ashar tiba, semua tamu mengundurkan diri, pamit satu persatu dengan bekal ilmu, perut kenyang dan semangat baru mengimplementasikan ilmu agama yang didapat juga mencoba resep masakan Bu Ratih.
Di sela-sela kunyahan, masih sempat telinga mengingat bumbu-bumbu yang diperlukan untuk membuat bakso tahu yang gurih dan renyah tanpa banyak menaburkan bumbu penyedap rasa.
baca juga: Makanan Pesta
Sisa Makanan untuk Suami dan Anak-Anak
“Ibuu…. aku pulang…! Aku enggak makan ya Bu, tadi sudah makan mie ayam Aseng, “teriak anak sulungnya yang tahun ini duduk di kelas 2 SMU dan setiap sore sibuk latihan basket untuk persiapan pertandingan antar kecamatan.
Rinda, putri keduanya pun dari sejak pulang sekolah tadi hanya mengambil semangkuk bakso, sampai sore tidak turun-turun dari lantai dua.
Katanya ia sedang banyak PR dan tidak mau makan sampai malam. Takut gendut, mengingat tubuhnya yang tinggi kalau gemuk akan membuat dirinya semakin besar.
Ditambah dengan jilbab yang lebar, maka Rinda merasa dirinya akan menjadi seperti Ibu-ibu. Lebih baik makan sekali saja, toh hasilnya sama juga.
Bagi Rinda memang sama saja dan biasa saja bila hanya mengambil semangkuk kecil bakso buatan ibunya yang dibuat dari sejak subuh tadi.
Bagi Anto, anak sulung Mbak Ratih memang biasa saja makan siang dengan lauk dari mie Aseng, mie ayam yang dijual di tepi jalan seharga tujuh ribu rupiah.
Dua pangsit dan satu bakso yang rasanya lezat sekali karena disajikan dan dilahap dengan teman-teman sambil duduk persis di atas kursi kayu yang dibentang menyilang di atas got yang baunya lumayan.
Bagi mereka mungkin tak biasa, namun Mbak Ratih sudah terbiasa dengan anak-anak yang makan di mana-mana dan tidak berniat untuk makan masakan ibunya.
Bahkan ketika semua kawan memuji masakannya terbersit sedih di hati Ratih,
“Semua orang memuji masakanku bahkan mereka berlomba-lomba makan apa yang kumasak. Namun anak-anak dan suamiku tidak ada satu pun yang berniat mencoba apa yang kumasak. Bahkan Anto lebih memilih makan mie ayam tepi jalan padahal di rumah ada bakso yang rasanya enggak kalah dengan yang ada di restoran. Tanpa bumbu penyedap pula. Lebih sehat dan semua kubuat dengan penuh perasaan.”
Seringkali Ratih bolak-balik ke pasar hanya untuk mendapatkan tetelan agar mendapatkan kaldu dari daging segar, bukan sisa daging kemarin.
Untuk yang satu itu, betul-betul memang Ratih ahlinya walau harus menghabiskan waktu sampai setengah jam lebih menunggu si Abang mengeluarkan tetelan baru dari tumpukan daging yang baru datang pagi-pagi dan bukan sisa daging kemarin yang tidak laku terjual.
Semua untuk mendapatkan cita rasa masakanya yang segar. Awalnya, Ratih melakukan itu untuk suami dan anak anak. Seiring waktu dan juga kondisi ekonomi suami Ratih yang sehat dan menanjak, serta keahlian Ratih dalam memasak, membuat Ratih mampu untuk memilih bumbu dan bahan masakan yang berkualitas.
Sehingga rasa masakan Ratih memang luar biasa, dan semua yang diundang makan ke rumahnya niscaya berdecak kagum.
Kemalasan melanda Ratih, semangat untuk menyiapkan makan malam bagi suaminya dan anak-anak sudah tidak ada sama sekali.
Setelah seluruh tipe masakan dari bakso tahu sampai sate ayam nyaris habis oleh 12 kawan di kelompok pengajiannya.
Bukan karena bahan makanan tidak ada atau sudah habis, juga bukan karena Ratih merasa lelah, namun karena perasaan tidak dibutuhkan.
Ya, sudah tiga tahun belakangan ini sejak suaminya menjadi politikus dan masuk sebagai anggota dewan, Ratih tidak pernah merasakan masakannya disentuh, dimakan dengan lahap, dan diingat rasanya, seiring dengan kedua anaknya yang sudah beranjak remaja dan memiliki dunia sendiri.
Malam beranjak kelam, dalam diam, Ratih meletakkan mangkuk dan piring serta menyusunnya di atas meja. Tanpa semangat.
Hanya meletakkan sedikit sisa makanan yang tadi siang. Sisa makanan yang dimakan kawan pengajiannya.
“Buat apa masakan baru?” pikirnya getir.
“Toh tidak ada yang makan! Suamiku juga enggak jelas pulang jam berapa. Apakah sudah makan atau belum, aku tidak tahu. Yang kutahu sejak menjadi anggota dewan, kesibukan yang begitu rupa membuat suamiku, seorang politikus muda berbakat tidak pernah lagi sempat makan di rumah dan tidak ingat lagi rasa masakan yang kubuat,” keluh Ratih.
Resep-resep baru Ratih terus bergulir. Yang menikmati lagi-lagi hanya pembantu, sopir, tukang kebun, kadang-kadang tukang koran yang sore hari lewat atau tukang pijat yang setelah mijat membawa lauk dalam kotak plastik.
Sesekali bila masakannya masih ada sisa, dikirim Ratih ke rumah teman mengajinya oleh sang sopir.
Sehingga hobi memasak Ratih hanya disalurkan untuk para pembantu dan sesekali diberikan kepada kawan-kawan pengajian atau arisan keluarga.
Makan pagi yang dulu selalu tersusun rapi tidak lagi berjalan seperti dahulu. Sang suami, sebelum nafsu makan pagi timbul sudah berpakaian rapi dan setiap hari ada saja acara breakfast meeting dengan kolega di sana-sini dari partai ini itu maupun non partai.
Sementara itu, ketika malam hari tiba, saat semua sinetron sudah habis tayang dari stasiun swasta dan ketika rasa kantuk sudah bergulir di depan mata dalam gelap malam yang merayap, Ratih perlahan membereskan sisa-sisa makanan yang disisakan untuk suami dan anak anaknya, yang mungkin masih mau makan malam di rumah.
Ya, wajarlah bila Mbak Ratih menyediakan sisa-sisa makanan kepada suami dan anak-anaknya, karena bila membuat makanan baru, belum tentu dimakan dan biasanya mereka tidak pulang untuk makan malam, atau bila ada di rumah makan karena sudah jajan di luar.
Wajar pula bila Ratih memberikan sisa-sisa makanan dari kawan pengajiannya tadi tanpa membuat masakan yang baru.
Karena sebagai istri dan ibu, dia hanya mendapat sisa-sisa waktu dan sisa-sisa perhatian dari suami dan anak anaknya. Entah sampai kapan semua itu akan berakhir.
Ketika usia semakin tua, mungkin hanya sisa-sisa umur yang akan mengingatkan Ratih bahwa usianya tidak lama lagi dan hanya kenangan yang dibawanya pergi.
Inilah kisah keluarga yang hanya memberi sisa pada pasangannya. Suami hanya memberikan sisa waktu, istri
memberikan sisa makanan dan anak hanya mendapat sisa perhatian dan pemikiran.
Ketika semua yang utama, waktu utama, makanan utama, tenaga utama, perhatian utama, semua diberikan untuk orang lain sementara keluarga yang lebih berhak hanya mendapatkan sisa-sisa.
By: Fifi P. Jubilea (S.E., S.Pd., M.Sc., Ph.D – Oklahoma, USA).
Owner and Founder of Jakarta Islamic School (Jakarta fullday); Kalimalang, Joglo, Depok.
Owner and Founder of Jakarta Islamic Boys Boarding School – Megamendung
Owner and Founder of Jakarta Islamic Girls Boarding School – Mega cerah
Next;
Owner and Founder of Jubilea Islamic College (2023) – Purwadadi Subang – setara SMP dan SMU. Boys and girls.
Owner and Founder of Jubilea University (2024) – Purwadadi and Malaka
Founder and Owner of Jakarta Islamic School, Jakarta Islamic Boys Boarding School (JIBBS), Jakarta Islamic Girls Boarding School (JIGSc)
Visit: //www.facebook.com/fifi.jubilea
Jakarta Islamic School (JISc/JIBBS/JIGSc): Sekolah sirah, sekolah sunnah, sekolah thinking skills (tafakur), sekolah dzikir dan sekolah Al-Qur’an, School for leaders
For online registration, visit our website:
𝗵𝘁𝘁𝗽𝘀://𝘄𝘄𝘄.𝗷𝗮𝗸𝗮𝗿𝘁𝗮𝗶𝘀𝗹𝗮𝗺𝗶𝗰𝘀𝗰𝗵𝗼𝗼𝗹.𝗰𝗼𝗺/
Further Information:
0811-1277-155 (Ms. Indah; Fullday)
0899-9911-723 (Mr. Mubarok; Boarding)
Website:
https://ChanelMuslim.com/jendelahati
https://www.jakartaislamicschool.com/category/principal-article/
Facebook Fanpage:
https://www.facebook.com/jisc.jibbs.10
https://www.facebook.com/Jakarta.Islamic.Boys.Boarding.School
Instagram:
www.instagram.com/fifi.jubilea
Twitter:
https://twitter.com/JIScnJIBBs
Tiktok:
https://www.tiktok.com/@mamfifi_jisc