PERNIKAHAN beda agama menimbulkan keresahan di antara masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan adanya ancaman terhadap ketahanan keluarga.
Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, sebagai aliansi antar lembaga yang peduli pada upaya pengokohan keluarga, mengajukan permohonan sebagai pihak terkait terhadap Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang (UU) Perkawinan dalam Perkara Pengujian UU Nomor 24/PUU-XX/2022.
Permohonan pihak terkait diajukan langsung oleh ketua AILA Indonesia Rita Hendrawati Soebagio MSi dan kuasa hukum dari AFS dan rekan, Nurul Amalia SH. MH.
Permohonan ini berkaitan dengan penolakan Permohonan Pengujian Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam keterangan tertulisnya, mengatakan bahwa kebahagiaan setiap keluarga, salah satunya dapat ditempuh dengan senantiasa menjaga keyakinan dan tradisi agama.
Praktik-praktik ibadah yang dilaksanakan bersama-sama juga dapat menjadi jalan harmonisnya relasi di antara pasangan di dalam sebuah keluarga.
Menurut Olson, D., DeFrain, J., dan Skogrand, L. (2010), agama juga mampu menjaga kestabilan emosi di antara pasangan dalam keluarga.
Baca Juga: Pernikahan Beda Agama, Hukum dan Konsekuensinya dalam Islam
Namun demikian kenikmatan dan ketenangan dalam melaksanakan ritual keagamaan idealnya hanya dapat dirasakan oleh pasangan dengan keyakinan yang sama.
Akibatnya pasangan berbeda agama berpotensi besar menyebabkan rapuhnya keluarga.
Pernikahan Beda Agama Ancaman Ketahanan Keluarga
Pasangan yang berbeda agama kerap terlibat dalam konflik seiring meningkatnya keyakinan keagamaan masing-masing. Dengan bertambahnya usia pada umumnya setiap individu akan semakin religius.
Religiositas seorang individu bersifat universal dan tidak hanya dialami oleh pemeluk agama tertentu saja.
Tokoh Psikologi Perkembangan Elizabet B Hurlock dalam bukunya Developmental Psychology mengatakan bahwa seorang individu ketika memasuki usia 40-60 akan mengembangkan sikap, perilaku dan perhatian yang lebih besar kepada agama (Hurlock, 1953).
Pendapat ini sejalan dengan fenomena sosial yang kita temukan di masyarakat. Rumah-rumah ibadah akan diisi mayoritas jamaah dengan usia lanjut.
Demikian juga kajian-kajian keagamaan lebih banyak dihadiri oleh jamaah yang sudah cukup usia dibandingkan remaja atau usia muda.
Konflik yang terjadi karena meningkatnya religiositas di antara pasangan yang berbeda agama pada umumnya akan berakhir pada perceraian.
Angka perceraian pasangan yang berbeda agama lebih tinggi dibandingkan pasangan seiman.
Lehrer dan Chriswick dalam Joanides (2004:93) pada tahun 1998 meneliti tingkat perceraian pasangan satu iman antara 13 persen sampai dengan 27 persen.
Sedangkan pada pasangan beda agama angka perceraian mencapai 24 persen sampai dengan 42 persen. [Ln]