PERAN amigdala pada penderita trauma. Dapat dikatakan, bahwa amigdala juga berfungsi sebagai pemberi isyarat rasa takut.
Konselor Keluarga Cahyadi Takariawan menjelaskan mengenai amigdala dan kaitannya dengan trauma.
Sekelompok ahli –sebagaimana dikutip Goleman, menyatakan bahwa trauma adalah masuknya ingatan tentang keganasan yang menjadi fokus utama, seperti pukulan, tusukan pisau, atau tembakan senjata.
Ingatan merupakan pengalaman persepsi yang hebat terhadap penampakan.
Korban yang kadang diam, tiba-tiba histeria bila mendengar bunyi, atau bau mesiu, jeritan, muncratnya darah, ataupun pun terdengar sirene polisi dan ambulans.
Selain itu dinyatakan, gangguan psikologi akibat kejadian traumatik, pada dasarnya timbul karena terlalu mudahnya amigdala tergugah.
Chaplin menjelaskan bahwa amigdala adalah zat abu-abu yang terdapat dalam otak besar, fungsinya berhubungan dengan pengawalan tingkah laku agresif.
Selanjutnya, Goleman menyebutkan bahwa penderita trauma mengalami perubahan limbic yang terpusat pada amigdala, mempunyai lokus seruleus yang di dalamnya terdapat katekolamin yang mengandungi dua jenis bahan kimia yaitu: adrenalin dan noradrenalin.
Dua zat kimia ini berfungsi sebagai mobilisasi tubuh untuk menghadapi keadaan kecemasan (bertempur atau lari).
Baca Juga: Mengenal Pembajakan Emosi dan Cara Mengatasinya
Peran Amigdala pada Penderita Trauma
Untuk korban trauma, sistem pada amigdala sangat aktif sehingga membuat katekolamin melepaskan bahan kimia otak dengan dosis yang berlebihan untuk memberi respons situasi-situasi yang terkadang tidak berupa kecemasan atau tidak mengancam.
Apabila amigdala dihapuskan maka manusia akan pasif atau terlalu berani. Percobaan pernah dilakukan pada seekor monyet.
Pada dasarnya monyet sangat takut pada ular, akan tetapi ketika amigdalanya dirusak, monyet tidak takut lagi pada ular, malah menghampiri dan memegang ular tersebut, bahkan ia memakannya.
Dapat dikatakan bahwa amigdala juga berfungsi sebagai pemberi isyarat rasa takut.
Atau amigdala berperan sebagai pemberi isyarat tanda bahaya yang membuat manusia mengeluarkan respon pertahanan dirinya melalui mengelak atau melawan.
Apabila amigdala terlalu cepat tergugah, maka manusia menjadi terlalu waspada, penakut atau sangat agresif.
Sebaliknya, apabila amigdala terlalu lambat memberikan isyarat, manusia kehilangan sikap waspada, atau terlalu berani, yang pada akhirnya membawa kasus buruk yang dapat mencelakakannya.
Individu dalam keadaan normal mempunyai reaksi amigdala yang stabil –tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu lambat.
Berbeda dengan individu yang telah mengalami trauma akibat peristiwa yang sangat mengguncang dan menyakitkan, maka respon amigdala terlalu cepat tergugah dan memberikan isyarat tanda bahaya berlebihan.
Jadi, dengan kasus yang kecil saja akan dipersepsikan sebagai sesuatu yang mengancam.
Sebagai contoh kasus seorang tentera Amerika veteran perang Vitnam, walaupun perang telah lama berakhir, bayangan pahit yang terjadi dalam peperangan kerap menghantuinya.
Ia sering mengalami “flash back” oleh suatu perisitiwa yang mirip pada waktu perang.
Ketika ada seseorang yang membanting pintu yang sedikit keras, langsung saja ia merunduk dengan penuh ketakutan, dan tubuhnya langsung mengeluarkan keringat dingin.
Di sini, amigdalanya terlalu cepat tergugah oleh suatu momen yang mirip, sehingga suara dentuman pintu ia mentafsirkan sebagai suara letusan bom pada saat perang.
Ia memberikan respon menunduk sambil ketakutan dan keluar keringat dingin, karena merasakan seolah-olah letusan bom itu mengenainya.
Kasus ini sangat berbeda dengan individu normal. Ia akan memberi respon suara bantingan keras pintu dengan bertanya, ‘suara apa itu?’
Selanjutnya suara itu akan dicerna melalui pikiran dan akan meresponnya dengan melihat untuk memberi jawaban.[ind]
Bahan Bacaan
1. Jayne Leonard, What is Trauma? What to Know, https://www.medicalnewstoday. com, 3 Juni 2020
2. Kusmawati Hatta, Trauma dan Pemulihannya, Dakwah Ar-Raniry Press, Aceh, 2016