KESALAHAN itu bisa berdampak pada perilaku. Bayangkan jika kesalahan yang membudaya, dampaknya juga akan sangat lama.
Semua kita ingin memiliki mentalitas baik. Seperti rajin, bersih, berani, sportif, sabar, jujur, dan lainnya.
Tapi, sejumlah kesalahan yang pernah dialami kadang bisa berbekas lama. Dan hal itu mempengaruhi mentalitas kita. Antara lain:
Satu, Kesalahan Pola Asuh.
Kadang orang tua tidak menyadari bahwa mentalitas anak-anaknya merupakan cerminan dari apa yang mereka asuhkan pada mereka.
Contoh, anak yang sering ‘diteror’ orang tua akan memiliki dua kemungkinan mentalitas yang sama-sama buruk. Yaitu, mungkin akan menjadi penakut, mungkin juga akan menjadi pemberontak.
Ketika misalnya orang tua menginginkan anak bisa berprestasi di sekolah, tanpa sadar, orang tua menebar ketakutan. Misalnya, “Kamu mau nggak naik kelas?” Atau yang lebih parah lagi, “Kamu mau jadi orang bodoh?” Dan lainnya.
Bayangkan jika ‘teror’ itu berlangsung tahunan. Dan bayangkan pula, apa yang akan terjangkit dalam mentalitas anak-anak.
Buya Hamka pernah memberikan nasihat. Antara lain, biarkan anak-anak tumbuh sebagai jati dirinya sendiri, selama tidak menyimpang secara syar’i. Kalau kita terus mendikte anak-anak, maka ia akan tumbuh sebagai cerminan diri kita sendiri. Padahal, mereka akan hidup di zaman yang berbeda dengan kita.
Kalau anak-anak tumbuh sebagai pembangkang, hal itu lebih berbahaya lagi. Mereka akan bermental culas: terlihat baik tapi menyimpan kesal dan dendam.
Sebaliknya, pola asuh yang ‘easy going’ atau dalam bahasa Arabnya tasahul juga tidak baik. Anak akan tumbuh dengan mental pemalas, rapuh, tidak bisa berkompetisi, dan lainnya.
Masih banyak pola asuh lain yang akan memunculkan mentalitas buruk buat anak.
Dua, Trauma.
Trauma adalah keadaan di mana seseorang masih terjebak dalam bayang-bayang pengalaman buruk. Misalnya, pengalaman buruk dalam pergaulan, dengan benda tertentu, dengan sosok tertentu, bahkan dengan ajaran tertentu.
Orang yang pernah patah hati karena ditolak seorang gadis saat melamar, maka akan mungkin mengalami trauma menikah.
Orang yang juga pernah mengalami kehilangan istri atau anak saat istrinya melahirkan, mungkin juga akan mengalami trauma tentang momen kelahiran. Dan seterusnya.
Pengalaman buruk sejatinya hanya bagian dari masa lalu yang harus dilepas dan dilupakan. Tapi, kadang justru menjadi berbekas dan membangun mentalitas baru buat seseorang.
Tiga, ‘Warna’ Lingkungan.
Kenapa orang Minang jago berdagang? Jawabannya sangat sederhana, karena lingkungan mereka membentuk mentalitas sebagai pebisnis.
Pertanyaan lain, kenapa umumnya orang Betawi susah menjadi pejabat, apalagi sebagai tentara? Karena umumnya orang Betawi hidup dalam kebiasaan informal, egaliter, bebas alias ‘susah diatur’.
Karena itu, yang umumnya menonjol dari tokoh Betawi adalah sebagai seniman, atau ulama yang konsisten dengan isu perubahan fundamental.
Dua contoh di atas adalah lingkungan yang membentuk mentalitas seseorang. Di luar itu, ada juga lingkungan buruk yang membentuk mentalitas yang buruk.
Seperti, lingkungan pergaulan yang ‘matre’ akan menumbuhkan mentalitas yang individualis. Lingkungan pergaulan premanisme akan membentuk mentalitas yang kasar dan arogan.
Jadi, berhati-hatilah dengan siapa kita bergaul. Karena warna itulah yang akan membentuk mentalitas kita. [Mh]