DESAINER Nina Nugroho bersama Indonesia Fashion Chamber akan melakukan fashion show dalam event Front Row Paris 2022 yang digelar di Bateu Chansonnier Port Debilly Paris dan La Galerie Bourbon. Selain Fashion show, akan ada pop-up store dan business matching yang di adakan di lokasi yang sama.
Baca Juga : Koleksi Busana Muslim Esensia by Nina Nugroho Tampil di MUFFEST 2022
Desainer Nina Nugroho Highlight Batik Koleksi Keraton Kanoman Cirebon di Front Row Paris 2022
Dalam kesempatan kali ini, Nina Nugroho membawakan lima koleksi busana yang dipadankan dengan koleksi Batik Keraton Kanoman dengan tema ‘Caruban’.
Caruban adalah nama daerah di Jawa Barat yang kini dikenal sebagai kota Cirebon.
Kata Caruban sendiri berarti campuran. Ini karena daerah Caruban menjadi tempat tinggal masyarakat dari banyak budaya, diantaranya Sunda, Jawa, Arab dan Cina.
Para wali menyebut Caruban sebagai pusat jagat negeri yang dianggap terletak di tengah- tengah pulau Jawa.
Cirebon dan budayanya menjadi sumber inspirasi koleksi Nina Nugroho kali ini. Sebagaimana Cirebon yang dianggap sebagai pusat jagat negeri, begitu pula halnya dengan sosok perempuan di tengah keluarga maupun lingkungannya.
Sebagai pusat kehidupan, maka perempuan haruslah mampu memberikan yang terbaik dari setiap aktivitasnya. Diwujudkan dalam desain busana batik yang simple namu elegan khas Nina Nugroho. Memberikan kesan kuat, namun tetap anggun dan keibuan.
Kota Cirebon yang menjadi bertemunya banyak budaya, diwujudkan dalam pertemuan beberapa motif batik dalam satu busana.
Setiap motif batik memiliki makna dan filosofinya masing-masing namun saling menguatkan.
Koleksinya sendiri terdiri dari midi shirt, shirt, tunik dan outer/cape yang dipadankan dengan pipe pants, cullote dan skirt. Detil berupa kancing Swarovski dan diperkaya dengan interlining dari bahan satin yang nyaman dan lembut.
Batik klasik Cirebon beragam motif dipadukan dengan bahan cotton bridal premium yang menambah kesan elegan namun ringan.
Koleksi pertama terdiri dari tunik 2 in 1 dengan detil obi perpaduan batik Cirebon berwarna marun dan hitam putih di bagian lengan.
Batik berwarna marun motif Kereta Paksi Naga Liman, yang merupakan kendaraan Sultan Cirebon.
Kereta ini memiliki senjata Trisula, yang merupakan simbol tiga kekuatan Sultan, yaitu kekuatan darat, laut dan udara. Dipadukan dengan cullote motif Mega Mendung Rara Sumanding. Rara Sumanding adalah julukan Puteri Ong Tien. Ia adalah salah satu istri Sunan Gunung Jati, yang merupakan putri kaisar China, yakni Kaisar Hong Gie.
Detil selendang di bagian belakang, menambah kesan elegan dan klasik koleksi ini. Warna marun terlihat kontras dengan batik warna hitam di bagian belakang tunik. Hijab bukan sekedar penutup kepala, tetapi menjadi penyempurna penampilan koleksi ini, dengan menggunakan material glitter.
Koleksi berikutnya perpaduan batik Wayang dengan batik motif Parang Panembahan Cirebon. Batik Wayang Terdiri dari midi shirt menggunakan Batik Wayang dan perpaduan bahan polos bridal cotton premium berwarna gold.
Detil obi menambah kesan anggun dan disempurnakan dengan hijab terbuat dari bahan brukat. Penampilan koleksi ini makin elegan dengan ‘cape’ batik motif Parang Panembahan Cirebon.
Motif ini di masa lalu hanya bisa dipakai oleh keluarga bangsawan atau kalangan ksatria saja. Motif jenis parang muncul di era Panembahan Ratu Cirebon I (1571 – 1649 M). Muncu juga di era Panembahan Senopati Mataram (1586 – 1601 M) dan Sultan Agung Mataram (1613 – 1645 M).
Koleksi ketiga terdiri dari long coat Batik Wayang, shirt dan pipe pants. Batik Wayang dipadukan dengan bahan bridal cotton premium berwarna coklat tua.
Shirt diperkaya dengan detil berupa obi dan hijab menggunakan bahan tile. Batik Wayang merupakan simbolisasi manusia, yang mengajarkan filosofi kerukunan dan hidup dengan damai.
Perpaduan Batik Patran Luwung dan Batik Wayang menjadi daya tarik koleksi selanjutnya. Terdiri dari shirt 2 in 1 dengan detil di bagian belakang, dikenakan bersama cullote. Batik Patran Luwung, bermotif keris.
Nama Luwung merujuk pada Syeikh Luwung (Pangeran Raja Muhammad), yang merupakan cucu Sunan Gunung Jati yang merupakan ahli keris (Luwung). Motif ini merupakan motif klasik Cirebon.
Skirt dan tunik berbahan Batik Megamendung yang legendaris, menjadi koleksi penutup. Motif Megamendung kali ini adalah Megamendung Nyai Panata Gama. Nya Panata Gama adalah julukan untuk ibunda Sunan Gunung Jati, yakni Nya Mas Rarasantang atau dikenal juga sebagai Syarifah Mudaim.
Saat itu Nyai Panata Gama adalah Guru Agung Pondok Pesantern Amparan Jati Cirebon. Julukan itu muncul karena kapasitas beliau yang mumpuni di bidang ilmu agama. Paduan skirt dan tunik Megamendung berwarna berwarna biru dihiasi dengan ‘cape’ Batik Wayang berwana coklat sogan. Dipermanis dengan hijab berbahan glitter berwarna silver.
Baca Juga : IFC Siap Gelar Fashion Show di Paris, Desainer Indonesia Optimis Rambah Pasar Eropa
Filosofi
Nina Nugroho menggunakan batik Cirebon dalam koleksinya kali ini, karena batik merupakan warisan budaya leluhur yang adiluhung dan diakui sebagai karya seni yang sangat luar biasa.
Setiap goresan motif dan ragamnya sarat akan makna dan filosofi yang agung. Makna dan filosofi ini tentu saja tidak lepas dari rentetan sejarah dan dinamika kebudayaan yang berlangsung di dalamnya, sehingga keberadaan batik tidak bisa lepas dari kondisi zaman dan rangkaian peristiwa di dalamnya, tak terkecuali Batik Cirebon.
Secara khusus Nina Nugroho melakukan riset mengenai batik Cirebon melalui serangkaian wawancara dengan budayawan dan ahli sejarah Cirebon.
‘’Sejarah telah mencatat, bahwa perjalanan batik di Cirebon sudah dimulai paling tidak sejak abad ke 15 atau 16. Bahkan sangat mungkin kesenian yang adhiluhung ini sudah dimulai sejak sebelum abad 15. Hal ini bisa kita lihat pada arsitektur mega mendung Kreta Jempana yang ada di Kesultanan Kanoman yang dibuat pada tahun 1350 Saka atau 1428 M,’’ tutur Nina Nugroho mengutip hasil riset yang dilakukannya.
Keberadaan motif mega mendung yang ada pada arsitektur Kreta Jempana di Kesultanan Kanoman ini telah mengindikasikan bahwa motif mega mendung sebagai motif batik yang sangat khas di Cirebon terinspirasi dari bentuk arsitektur Kreta Jempana.
Secara periodesasi sejarah, munculnya motif mega mendung ini ada sebelum Cirebon (Caruban/Sarumban) ada, baik sebagai pedukuhan (kampung) maupun sebagai institusi kerajaan.
Dengan demikian, motif batik mega mendung ini salah satu motif yang purwa (tua) di Cirebon.
Beberapa sejarawan atau budayawan Cirebon berpendapat, bahwa Sunan Gunung Jati (1448-1568) pernah mengenakan baju atau kain batik yang bermotif megamendung.
Secara makna dan filosofi, mega mendung artinya pertanda untuk turunnya hujan. Dan hujan merupakan keberkahan yang turun dari langit guna memberikan manfaat untuk seluruh kehidupan di bumi.
Mega mendung sebagai pertanda turunnya hujan juga mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin atau imam, harus turun ke bawah mengayomi dan memberikan manfaat untuk rakyatnya. Karena turunnya air hujan dilambangkang sebagai sebagai sumber kehidupan.
‘’Begitu juga pemimpin, ia adalah sumber dan tolak ukur kemakmuran bagi rakyatnya. Itulah contoh motif mega mendung yang sarat akan makna dan filosofi luhur di dalamnya,’’ ungkap Nina Nugroho.
Sementara itu terkait asal-usul, makna dan filosofi batik, menurut sebagian kaum tarekat (para pengamal tasawuf atau sufi) di Cirebon mengatakan, bahwa istilah batik berasal dari kata “Ba” (ب) dan “titik” (.). Mengapa demikian ? Karena, menurut kaum tarekat di Cirebon, seluruh isi kandungan dalam al-Qur’an diringkas dalam surat al-Fatihah. al-Fatihah diringkas pada kalimat “bismillah” sementara bismillah diringkas pada huruf “ba” dan hurum “ba” diringkas pada titik.
Dari istilah ba dan titik itulah kemudian kita mengenal batik, sebuah seni yang sarat akan makna dan filosofi yang begitu agung. Dengan kata lain, pada awalnya, orang yang memakai batik ini adalah mereka yang sudah paham dan mengerti seluruh isi kandungan al-Qur’an (kitab suci) sehingga yang memakainya pun tidak sembarang orang karena harus punya tingkat spiritual yang tinggi.
Pada awalnya, batik hanya bisa dipakai oleh kalangan bangsawan keraton yang tingkat spiritualnya tinggi (sufi/wali). Karena itu, pakaian ini khusus untuk mereka sebagai simbol ketakwaan kepada sang pencipta. Dan motif batik pun merupakan simbol tingkatan bagi setiap pemakainya.
Motif mega mendung, motif teratai, motif paksi naga liman, motif singa barong dan lain-lain. Semua motif-motif itu adalah tanda atau ciri dari yang memakainya. Sehingga batiknya para bangsawan yang tingkat spiritualnya tinggi berbeda dengan mereka yang tingkat spiritualnya rendah.
Pada perkembangannya, batik yang awalnya sebagai simbol pakaian yang melambangkan tingkatan spiritual kemudian berubah menjadi sebuah industri di abad 19 dan 20 an, karena motif dan keindahan coraknya sangat diminati banyak orang salah satunya perkembangan industri batik di Trusmi dan Ciwaringin Cirebon. Hal ini tentu saja bagian dari dinamika zaman dan bekah dari industri batik ini, beragam motif yang sarat akan makna dan filosofi.
‘’Oleh sebab itu kenapa batik hari ini harus dilestarikan, karena bukan hanya menjaga keindahan motif dan ragamnya melainkan menjaga tata nilai makna dan filosofinya. Itulah mengapa dalam koleksi saya kali ini, saya secara khusus mengangkat batik Cirebon sebagai tema,’’ pungkas Nina Nugroho.
[wmh]