SUMATERA utara, Aceh, dan Sumatera Barat berduka. Banjir bandang menenggelamkan banyak harta yang tak ternilai, termasuk nyawa warga. Kenapa banjirnya begitu dahsyat?
Sejak Senin, 24 November 2025, kawasan Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat diguyur hujan lebat. Hujan turun bukan saja lebat, melainkan juga dengan durasi yang begitu lama: sekitar 4 hari berturut-turut.
Akibatnya, banjir bandang menghanyutkan kawasan di sekitaran aliran sungai di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. BNPB mencatat, sebanyak 442 orang meninggal dunia dan 402 lainnya masih hilang.
BMKG menyebut intensitas curah hujan itu lebih dari 300 mm per hari. Sebagai perbandingan, banjir besar yang melanda Jakarta pada 2020 terjadi setelah Jabodetabek diguyur hujan sebanyak 330 mm per hari.
Hanya Karena Hujan?
Publik pun akhirnya bertanya-tanya, ada apa dengan kawasan Sumatera bagian utara yang meliputi Aceh, Sumut, dan Sumbar.
‘Tersangka’nya ada tiga. Intensitas hujan yang luar biasa, sampah, dan deforestasi atau penebangan hutan yang merusak lingkungan.
Menariknya, belum lagi korban mendapatkan bantuan dan evakuasi korban, sejumlah pejabat ‘buru-buru’ memberikan komentar tentang sebabnya. Sebagian besarnya seragam: karena hujan deras. Bukan karena kerusakan hutan?
Entah apa motif di balik pernyataan cepat tentang sebab banjir terdahsyat sejak 35 tahun terakhir itu. Saling berkilah di saat begitu banyak korban berjatuhan merupakan hal yang sangat menyakitkan. Sementara, bantuan belum mereka dapatkan.
Jangan heran jika ada rekaman bagaimana warga secara darurat melakukan ‘penjarahan’ di sejumlah mini market dan gudang bulog. Hal ini menunjukkan betapa lambatnya bantuan datang.
Sebenarnya, benarkah banjir besar itu hanya karena hujan deras yang terjadi selama beberapa hari?
Rasanya, ini perlu dilakukan penyelidikan lebih dalam. Hal ini agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi di masa akan datang.
Menariknya, organisasi lingkungan di tanah air seperti Green Peace Indonesia menyebut bahwa pengrusakan hutan di Sumatera bagian Utara terjadi sejak tahun 1990. Dan lebih besar lagi di beberapa tahun terakhir.
Selain itu, banyaknya kayu gelondongan yang hanyut di sepanjang aliran banjir seperti membuktikan adanya penebangan dan pengrusakan hutan. Tapi sekali lagi, ini butuh penyelidikan.
Seorang pengamat sosial bahkan menyebut bahwa pelaku pengrusakan hutan ini harus dihukum berat. Bahkan dihukum mati karena menyebabkan berjatuhannya korban yang begitu besar.
Namun, sebelum masuk ke wilayah penyelidikan itu, bantuan dan evakuasi korban harus segera dilakukan. Begitu banyak wilayah yang terisolir akibat akses jalan yang putus.
Selain itu, perbaikan dan pemulihan akses publik harus segera dilakukan. Terutama jalan dan sarana informasi. Karena jika dua hal ini terhambat, akan banyak korban susulan yang berjatuhan. [Mh]





