ChanelMuslim.com- Janji pemerintah yang akan menstabilkan harga minyak goreng pada awal Februari tak terbukti. Hingga menjelang Maret, harga minyak goreng masih belum normal. Bahkan, kini seperti hilang dari peredaran.
Pemandangan antrian panjang ibu-ibu membeli minyak goreng bukan lagi pemandangan aneh. Hal itu hampir menjadi biasa. Pemandangan itu nyaris terjadi di semua daerah.
Meski harus antri selama setengah hingga satu jam itu, pembeli hanya boleh membeli satu kemasan dua liter. Harga per liternya sesuai dengan ketentuan pemerintah sebesar 14 ribu. Atau, 28 ribu per kemasannya.
Sayangnya, model operasi pasar seperti itu bukan tanpa dampak. Selalu saja ada sisi lain yang dirasa merugikan. Yaitu, keluhan para pedagang karena dagangan minyaknya tidak laku. Hal itu karena harganya masih harga lama yang mahal.
Saat ini, persoalan minyak goreng di pasaran bukan sekadar masalah harga. Tapi juga soal ketersediaannya. Di hampir semua mini market dan super market, stok minyak goreng hampir selalu kosong.
Siang tadi, ada seorang ibu paruh baya bersama cucunya mendatangi sebuah super market. Jauh-jauh ia datangi pusat belanja kebutuhan pokok itu hanya untuk mencari minyak goreng. Sayangnya, yang ia temukan hanya tulisan harganya saja. Sementara minyak gorengnya katanya sudah habis.
Menjelang Maret ini, belum ada janji baru dari pemerintah tentang ketersediaan minyak goreng. Kalau pun ada di pasaran, harganya masih mahal.
Kenapa persoalan minyak goreng saja penanganannya begitu rumit. Padahal, minyak sawit yang menjadi bahan baku minyak goreng merupakan produk asli Indonesia. Bukan produk impor seperti kedelai dan lainnya.
Dr. Faisal Basri dalam sebuah wawancara di media menyebutkan bahwa tidak benar jika kelangkaan minyak goreng karena sawitnya diekspor ke luar negeri.
Data menurutnya menunjukkan bahwa ekspor sawit dari Indonesia selama enam bulan terakhir normal-normal saja. Tidak ada kenaikan seperti yang disampaikan sejumlah pihak selama ini.
Lalu, kemana sawit yang harusnya menjadi olahan minyak goreng? Masih menurut pakar ekonomi Universitas Indonesia ini, karena pemerintah sendiri yang mendorong agar pengusaha mengolah sawit menjadi biodiesel atau bahan bakar hasil olahan sawit.
Bahkan dikabarkan, perusahaan minyak Pertamina pun mulai fokus di proyek itu. Justru, proyek biodiesel ini menjadi program kebanggaan karena mampu menyediakan bahan energi alternatif yang terbarukan. Bukan lagi energi dari fosil yang suatu saat akan habis.
Di saat dunia mengalami krisis energi seperti sekarang ini, harga biodiesel menjadi mahal. Hal itulah yang menjadikan olahan untuk minyak goreng seperti tak kebagian stok bahan sawit.
Lalu, sampai kapan minyak goreng akan terus seperti ini? Kuncinya ada di pemerintah sendiri. Harus ada keberpihakan untuk pangan rakyat Jangan sampai rakyat sulit memperoleh minyak goreng, padahal sawitnya melimpah di negeri ini. [Mh]