ChanelMuslim.com- Begitu banyak pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah perjalanan khusus yang berkaitan dengan perintah shalat lima waktu.
Isra’ merupakan perjalanan awal Nabi dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjid Al-Aqsha di Palestina. Di Aqsha itu, Nabi memimpin shalat bersama ruh para Nabi dan Rasul.
Dari situ, Nabi kemudian diberangkatkan ke Sidratul Muntaha untuk menerima langsung perintah shalat dari Allah subhanahu wata’ala.
Momen ini begitu lain dari yang lain. Tidak biasanya, Nabi harus menerima perintah langsung dari Allah. Tidak melalui malaikat Jibril.
Shalat pun diwajibkan kepada umat Nabi Muhammad sebanyak lima puluh waktu. Namun, atas saran dari Nabi Musa alaihissalam, perintah lima puluh waktu itu akhirnya berkurang menjadi lima waktu saja.
Itulah perintah shalat seperti yang sekarang ini kita lakukan. Yaitu, Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib, dan Isya. Lima waktu itu bergulir mengikuti peredaran matahari. Mulai dari sebelum matahari terbit hingga menjelang malam datang.
Meski lima waktu, rentang waktu antar shalat itu begitu tertata apik. Tidak berbenturan dengan waktu makan, istirahat, bahkan waktu kerja, sekolah, dan aktivitas-aktivitas lain.
Subhanallah. Bayangkan jika yang diwajibkan 50 waktu. Kalau sehari ada 24 jam, maka jarak antar satu waktu shalat dengan waktu yang lainnya hanya terpisah setengah jam. Padahal satu pelaksanaan shalat jika harus ke masjid membutuhkan waktu sekitar 10 sampai 15 menit.
Kalau demikian, bagaimana porsi untuk istirahat, untuk makan, untuk aktivitas lain seperti sekolah, bekerja, dan lainnya.
Sungguh pun begitu, lima waktu masih dirasa berat oleh sebagian umat Islam. Padahal, porsinya sudah sangat singkat di banding sisa waktu kita dalam sehari semalam.
Kalau kita shalat butuh waktu 15 menit, maka lima waktu menjadi sekitar 75 menit. Atau, sekitar 4 sampai 5 persen dari jatah waktu harian yang Allah sediakan untuk kita.
Dengan kata lain, sisanya masih sangat banyak. Masih lebih dari 90 persen. Bagaimana mungkin dengan sisa sebanyak itu, orang masih bisa beralasan sibuk atau tidak cukup waktu untuk shalat.
Sebenarnya, bukan soal waktu yang tersedia. Bukan juga karena kesibukan harian kita yang terlalu sangat padat.
Bukan itu. Melainkan karena kerinduan kita untuk berjumpa dengan Allah Yang Maha Kasih dan Sayang yang tidak kita miliki. Kita seperti tidak merasa perlu untuk “berjumpa” dengan Allah. Kita seperti tidak merasa perlu untuk mengutarakan sesuatu dalam shalat kita.
Ah, shalat bahkan serasa seperti beban. Sebuah beban yang begitu berat untuk dipikul. Kalaupun kita tunaikan dengan segera, hal itu lebih karena kita ingin agar beban itu bisa terlepas lebih cepat dari pundak kita.
“Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hambaMu yang senantiasa menegakkan shalat. Begitu pun dengan anak keturunan kami. Ya Allah, perkenankanlah doa kami.” [Mh]