INDONESIA adalah negeri yang kaya, subur, dan makmur. Tapi, dinamika yang terjadi seperti berjalan di tempat.
Indonesia berada pada jajaran ke-14 negara terluas di dunia. Dari segi jumlah penduduk tergolong yang keempat. Jumlahnya hampir 278 juta jiwa.
Belum lagi tentang keragaman pulau, budaya, adat istiadat, bahasa, dan lainnya. Pendek kata, Indonesia seperti sebuah kapal besar yang berlayar menuju pulau harapan.
Namun, apa yang terjadi di elit tidak menunjukkan kesepadanan. Terlebih lagi di dua tahun terakhir menjelang pemilu seperti saat ini.
Hampir seratus persen dinamika negeri ini yang tersorot hanya tentang rencana “bagi-bagi” kekuasaan. Ada juga yang mengatakan seperti politik dagang sapi.
Sementara di kalangan rakyat, mereka begitu dibingungkan dengan keadaan ekonomi yang terus memburuk. Nyaris tak satu pun harga barang yang tidak naik. Bahkan melonjak drastis.
Sementara, penghasilan dan pendapatan rakyat terus merosot. Setelah dua tahun dihantam pandemi, kini muncul imbas ekonomi dari perang Rusia Ukraina.
Rakyat seperti menanti-nanti, kapan para elitnya mengurus serius kebutuhan pokok mereka. Tentang minyak goreng yang tak kunjung turun, tentang cabe yang sudah 60 ribu, tentang bawang merah yang 50 ribu, tentang telur yang menyentuh 30 ribu, tentang BBM yang sudah naik 5 ribu, dan lainnya.
Yang piciknya, rakyat diserbu dengan berita-berita “aneh” yang tak bermutu. Sepertinya ini sebagai pengalihan isu.
Antara lain, munculnya isu kebangkitan gerakan khilafah, pesta bikini di sebuah daerah, hingga kehebohan tentang seseorang yang mengaku malaikat.
Seolah-olah, negeri ini hanya tentang dua atau tiga orang elit yang sedang berseteru. Sementara yang ratusan juta lainnya hanya sekadar pelengkap dan penggembira.
Pertanyaannya, sampai kapan ini terus berlangsung? Jawabannya mungkin sederhana: sampai rakyat benar-benar berkuasa. [Mh]