ChanelMuslim.com – Tahukah anda bahwa pernah ada fatwa yang membolehkan Muslim pura-pura murtad demi menjaga kelangsungan hidup mereka. Yah, fatwa itu pernah dikeluarkan oleh seorang Mufti bernama Ahmad ibn Abi Jum’ah, seorang ulama Afrika Utara di bidang hukum Islam bermazhab Maliki. Fatwa ini dinamakan “Fatwa Oran” oleh sejarawan modern, karena nama kota Oran atau Wahran (sekarang di Aljazair) muncul di teks ini sebagai nama akhir (nisbah) “Al-Wahrani” di nama sang Mufti.
Baca juga: Muslim Spanyol Masih Kesulitan Dapatkan Pendidikan Islam
Fatwa Oran adalah sebuah fatwa (pendapat dalam hukum Islam) yang dikeluarkan pada tahun 1504 (910 H) untuk para Muslim di wilayah Takhta Kastilia (sekarang bagian dari Spanyol) sebagai tanggapan atas krisis di kalangan umat Islam setelah mereka dipaksa untuk berpindah ke agama Katolik sejak kebijakan pemaksaan agama sejak 1500 – 1502.
Fatwa ini memberikan kelonggaran bagi mereka yang terpaksa untuk berpura-pura mengikuti agama Katolik, melanggar larangan-larangan dalam agama Islam, dan tidak menyempurnakan kewajiban seperti shalat, wudhu, dan zakat. Menurut fatwa ini, hal tersebut dibolehkan dalam keadaan terpaksa dan terancam hidupnya dan selama mereka masih menentang dalam hati.
Baca juga: Meski Kontroversi Soal Keamanan Vaksin China, Darul Iftah Fatwakan Warga Mesir Wajib Divaksin
Fatwa ini beredar luas di kalangan Muslim dan para Morisco (sebutan untuk penduduk Muslim yang berpindah ke Katolik, beserta keturunan mereka) di Spanyol, dan salah satu terjemahan dalam tulisan aljamiado ditemukan bertanggal 1564, 60 tahun setelah fatwa ini diberikan. Fatwa ini dianggap sebagai “dokumen agama utama” untuk mempelajari praktik agama Islam setelah Spanyol jatuh ke tangan Katolik pada abad ke-15 sampai pada pengusiran Morisco (1609 – 1614).
Islam telah hadir di Spanyol sejak penaklukan Hispania oleh Umayyah pada abad kedelapan. Pada permulaan abad kedua belas, populasi Muslim di Semenanjung Iberia (disebut “Al-Andalus” oleh umat Muslim) diperkirakan berjumlah sampai 5,5 juta, yang terdiri dari orang Arab, orang Berber dan penduduk asli yang masuk Islam. Pada beberapa abad berikutnya, karena perluasaan wilayah kerajaan-kerajaan Kristen dari utara, populasi Muslim berkurang. Proses ini disebut reconquista. Pada akhir abad kelima belas, reconquista mencapai puncaknya dengan kejatuhan Granada, dan total jumlah umat Muslim di Spanyol diperkirakan menjadi antara 500,000 dan 600,000 dari total populasi Spanyol yang berjumlah 7 sampai 8 juta. Sekitar separuh umat Muslim tinggal di bekas wilayah Granada, negara Muslim merdeka terakhir di Spanyol, yang telah dianeksasi ke Takhta Kastilia. Sekitar 20,000 umat Muslim tinggal di kawasan lain di Kastilia, dan sebagian besar sisanya tinggal di kawasan Takhta Aragon.
Sebelum selesainya reconquista, umat Muslim yang dikalahkan umumnya diberi kebebasan beragama sebagai syarat penyerahan mereka. Contohnya, Traktat Granada, yang mengatur penyerahan Granada, memberikan serangkaian hak kepada umat Muslim yang ditaklukkan, termasuk toleransi beragama dan perlakuan adil, sebagai balasan atas penyerahan mereka. Namun, meningkatnya peristiwa pemurtadan paksa (yang bertentangan dengan Traktat Granada) menimbulkan serangkaian pemberontakan Muslim di Granada (1499–1501).
Pemberontakan tersebut dipadamkan, dan setelah itu, hak-hak yang diberikan kepada umat Muslim oleh Traktat Granada dicabut oleh pihak kerajaan. Umat Muslim Granada diberi pilihan untuk menetap dan menerima pembaptisan, menolak pembaptisan dan diperbudak atau dibunuh, atau diasingkan. Pilihan pengasingan sering kali mustahil dalam praktiknya karena kesulitan dalam mengatur perjalanan menuju wilayah Muslim di Afrika Utara, ketidakmampuan membayar biaya yang dikenakan pihak kerajaan, dan tekanan-tekanan dari pihak penguasa yang ingin menghindari pengosongan penduduk.
Sebagian umat Muslim, khususnya orang-orang yang tinggal di dekat pesisir selatan, memilih pengasingan, tetapi sebagian besar memilih untuk berpura-pura memeluk agama Kristen (satu-satunya cara untuk bertahan hidup) meskipun diam-diam masih meyakini dan menerapkan Islam. Umat Muslim memeluk agama Kristen secara massal, dan pada tahun 1501, seluruh penduduk Muslim di Granada di atas kertas sudah menjadi Kristen.
Kesan sukses dari kebijakan di Granada mendorong serangkaian titah dan proklamasi pada 1501 dan 1502 yang secara efektif menempatkan umat Muslim di kawasan lain di Kastilia dalam nasib yang sama. Umat Kristen baru yang tadinya beragama Islam, bersama dengan keturunan mereka, disebut oleh sumber-sumber Spanyol dengan sebutan Morisco. Selain terpaksa menerima agama Kristen dan meninggalkan iman dan ritual Islam, mereka juga mengalami tekanan untuk menjalani gaya hidup Kristen, termasuk masuk gereja, mengirim anak-anak mereka untuk diajarkan doktrin Kristen, dan menyantap makanan dan minuman yang diharamkan dalam hukum Islam.
Sebelum fatwa Oran, posisi umum dari para cendekiawan Islam telah menyatakan bahwa seorang Muslim seharusnya tak menetap di sebuah negara saat para penguasanya melarang pengamalan agama Islam. Oleh sebab itu, Muslim disarankan untuk berhijrah atau hengkang jika mereka dapat melakukannya. Bahkan sebelum terjadi pemurtadan paksa sistematis, para pemimpin agama telah berpendapat hijrah keluar dari daerah yang dikuasai Kristen merupakan cara untuk melindungi agama dari pengikisan. Bahkan, cendekiawan Afrika Utara kontemporer Ahmad al-Wansharisi, yang dianggap salah satu otoritas utama umat Muslim di Spanyol, menulis pada 1491 bahwa hampir selalu wajib bagi Umat Muslim untuk keluar dari daerah kekuasaan Kristen. Selain itu, Al-Wansharisi berpendapat bahwa Umat Muslim yang tetap bertahan akan dihukum masuk neraka.[ah/dbs]