ChanelMuslim.com- Pembiaran aksi premanisme politik kini bukan hanya memakan korban Neno Warisman. Ulama dan dai kondang Ustaz Abdul Somad pun mendapat giliran. Inilah yang akan terjadi ketika negara tak berdaya melawan preman.
Persekusi, ancaman, intimidasi, atau pun namanya bukan hal baru buat alumnus Universitas Al-Azhar Kairo ini. Ia pernah mengalami hal itu di Bali, Jepara, Semarang, bahkan di negara lain seperti Hongkong.
Namun, untuk yang kali ini agak berbeda. Kalau sebelumnya penolakan terjadi karena kesalahpahaman tentang siapa UAS yang difitnah anti NKRI dan sebagainya, kali ini sepertinya lebih ke arah politik praktis seperti jelang pemilu 2019.
Pergeseran alasan tersebut jelas terjadi karena tuduhan bahwa UAS anti NKRI seperti yang terjadi di Bali dan lainnya sudah terbantahkan dengan sendirinya. Hal ini terlihat dari lembaga-lembaga negara yang ingin menjelaskan secara kongkrit bahwa UAS ulama pejuang Indonesia.
Ustaz yang juga anggota Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama Riau ini diundang Mabes TNI AD untuk berceramah. Setelah itu, Lembaga Tertinggi Negara, MPR, pun mempersilakan UAS berceramah di hadapan seluruh pimpinan MPR, keluarga besar pimpinan, dan masyarakat.
Dengan kata lain, TNI dan MPR ingin memberikan garansi bahwa UAS bukan seperti yang dituduhkan sebagai anti NKRI dan sejenisnya. Dan tidak ada lagi lembaga atau pun ormas yang bisa melampaui dari dua lembaga negara ini sebagai pemberi garansi yang paling otentik dan berwenang terhadap tuduhan itu.
Pertanyaannya, kenapa penolakan bahkan intimidasi, seperti yang disampaikan UAS melalui media sosialnya, masih terjadi di sekitaran Jawa Tengah dan Jawa Timur?
Seperti diketahui publik, Ustaz Abdul Somad, melalui akun instagramnya menyampaikan bahwa dirinya tidak bisa menghadiri sejumlah undangan di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini karena adanya ancaman dan intimidasi.
“Beberapa ancaman, intimidasi, pembatalan dan lain-lain terhadap tausiyah di beberapa daerah seperti Grobogan, Kudus, Jepara, dan Semarang,” begitu di antara maklumat yang disampaikan UAS.
Selain daerah-daerah itu, UAS juga menyebut beberapa tempat lain yang telah mengundangnya untuk bulan September, Oktober, hingga Desember 2018. Yaitu, Kota Malang, Boyolali, Jombang, Kediri, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Pembatalan tersebut, menurut UAS, bukan semata-mata karena kekhawatiran keamanan. Melainkan juga karena tidak ingin membebani panitia dan sejumlah pihak yang tersibukkan dengan urusan keamanan. Dan boleh jadi, UAS khawatir akan adanya potensi benturan antar anak bangsa, khususnya sesama umat Islam.
Bukan Lagi Tuduhan Anti NKRI
Ditilik dari daerah-daerah yang disebutkan UAS dan akan berlangsung hampir berdekatan di bulan September dan Oktober, kemungkinan sebab penolakan bukan lagi karena seperti yang di Bali.
Hal ini karena daerah-daerah tersebut bukan tergolong daerah yang kurang paham dengan khazanah keilmuan Islam seperti yang terjadi di Bali. Justru, di daerah-daerah itulah tumbuh subur basis-basis keilmuan Islam seperti pesantren dan kampus Islam.
Dari tingkat pendidikan pun, daerah-daerah tersebut bukan daerah yang jauh dari kampus atau basis keilmuan umum. Justru di daerah-daerah itulah berdiri kampus-kampus hebat se-Indonesia seperti UGM, UNDIP, ITS, UNS, dan sebagainya.
Lalu, siapa dan kenapa bisa terjadi penolakan bahkan intimidasi seperti yang disampaikan UAS kepada publik.
Kalau dari segi basis keilmuan Islamnya tidak ada masalah dan begitu pun dari tradisi akademisi yang sangat maju di daerah-daerah tersebut, berarti ada sebab lain yang irasional dan dipaksakan. Dan ini tidak mewakili mayoritas warga di daerah-daerah tersebut.
Boleh jadi, seperti yang disampaikan KH Abdullah Gymnastiar dalam wawancara dengan TV One Senin sore, kasus ini ada kemungkinan memiliki rangkaian seperti yang dialami Neno Warisman di Batam dan Pekanbaru Riau beberapa waktu lalu.
Yaitu, adanya irisan kepentingan dukung mendukung terhadap Pilpres 2019. Walaupun UAS bukan menjalankan agenda seperti Neno Warisman, tapi ada pihak-pihak yang panik dan takut pengaruh UAS akan berpengaruh pada dukungan di Pilpres mendatang. Walaupun kepanikan dan ketakutan ini tergolong sangat mengada-ada dan dipaksakan.
Soal siapa pelakunya, publik nyaris tidak lagi percaya dengan aparat penegak hukum. Karena seperti yang dialami Neno Warisman di Riau lalu, video siapa pelaku penolakan begitu jelas menunjukkan bukan warga Riau. Dan bahasa-bahasa yang diteriakkan pun seperti bahasa khusus di kalangan preman.
Walaupun hal tersebut jelas melanggar hukum karena melakukan persekusi dan terjadi di wilayah bandara, tapi sampai saat ini belum ada yang jadi tersangka. Bahkan, yang terperiksa pun tidak ada. Persis seperti yang terjadi di Bali ketika hal yang sama dialami UAS.
Apa yang dialami UAS saat ini merupakan cacat berat negara dalam membangun civil society. Banyak pihak yang dirugikan karena terhalang mendapatkan pengajaran dakwah UAS yang merupakan aset langka bangsa ini.
Dan jika negara tunduk dalam permainan preman, ini pertanda buruk bagi tumbuhnya karakter bangsa yang baik dan toleran. Kasus ini, jika terus mengalami pembiaran, tidak tertutup kemungkinan akan menggiring bangsa pada titik peradaban terendah: anti hukum, anarkhisme, dan bar bar. Naudzubillah. (mh)