oleh: Rafa Karimah, S.Psi (Koordinator Kemuslimahan FSLDK Indonesia 2018-2019, Anggota Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana (HIMMPAS) UI)
ChanelMuslim.com – “Orang diajar di sini membaca Qur’an, tetapi yang dibacanya itu tiada ia mengerti. Pikiranku, pekerjaan gilakah pekerjaan semacam itu, orang diajar di sini membaca, tetap tidak diajarkan makna yang dibacanya itu. Sama saja engkau mengajar aku membaca kitab Bahasa Inggris, aku harus hafal semuanya, sedangkan tiada sepatah kata juapun yang kau terangkan artinya kepadaku.” [1]
Rangkaian kalimat di atas merupakan cuplikan surat R.A Kartini kepada Stella pada tahun 1899 yang tercantum pada Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1938. Pada momen peringatan Hari Kartini 21 April pada tahun-tahun sebelum ini, kita seringkali mengaitkan R.A Kartini dengan berbagai hal dalam meneladaninya. Adapun hari ini, mari kita sejenak membaca potongan surat Kartini di atas dan berefleksi, layakkah kita memperingati Hari Kartini tanpa meneladani semangatnya dalam memperdalam Alquran?
R.A. Kartini bersusah payah untuk dapat memahami Alquran dan kondisi yang sulit tidak menurunkan semangatnya dalam mempelajari Alquran. Hari ini, kita berada dalam kondisi berkebalikan. Berbagai sarana untuk mempelajari Alquran seperti kajian, kelas tahsin tahfidz, maupun pelatihan Alquran, tersedia dengan mudah, bahkan dalam genggaman. Tidakkah kita gelisah seperti Kartini ketika pemahaman kita terhadap Alquran tidak bertambah dan kita tidak melakukan apa-apa? Kita patutnya mengevaluasi interaksi kita terhadap Alquran yang berdasarkan tafsir QS. Fatir: 32 terdapat 3 klasifikasinya [2]. Apakah kita termasuk golongan dzalimun linafsih yaitu orang-orang yang tidak memanfaatkan Alquran untuk menjadi petunjuk hidupnya, atau muqtashid yaitu orang yang sudah beriman kepada Alquran namun baru dapat melaksanakan sebagian isinya dan meninggalkan sebagian yang lain, atau sabiqun bil khairat, yaitu orang yang beriman kepada Alquran dan telah mengoptimalkan interaksi bersamanya?
Momen Ramadan yang tampak ‘sunyi’ ini bisa jadi merupakan momen yang sengaja Allah karuniakan bagi kita untuk lebih mendekatkan diri pada Alquran dan membuktikan keimanan kita kepadanya. Pembuktian yang dapat kita tunjukkan dengan membacanya (tilaawatan), memahami dan mentadaburi isinya (fahman), menghafalkan dan memeliharanya (hafiizhan), serta melaksanakannya (tathbiiqan) [3]. Pada QS. Al-Qamar, kalimat “Wa laqad yassarnal qur’aana lidz dzikri fahal min muddzakkir?” yang artinya “Dan sungguh, telah Kami mudahkan Alquran untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” disebut Allah sebanyak 4 kali untuk menegaskan kemudahan yang karuniakan-Nya bagi manusia untuk mempelajarinya. Apakah kita mau mensyukuri dan menjemput karunia-Nya tersebut?
Kedekatan kita terhadap Alquran sejatinya merupakan awal dari keberdayaan kita untuk untuk dapat keluar dari kegelapan (kufur) menuju cahaya (iman) seperti yang tercantum pada QS. Al-Baqoroh: 257, minazzulumati ilannur. Al-Qur’an pula yang dapat menjadi pondasi kita dalam membangun peradaban seperti R.A Kartini dan menjadi pelita, “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Referensi:
[1] Pane, Armijn. (1990). Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka.
[2] Rauf, Abdul Aziz Abdur. (2015) Ya Allah Jadikanlah Kami Ahlul Qur’an. Kumpulan Tausyiah, Kultum dan Motivasi Hidup Bersama Al-Qur’an. Jakarta: Markaz Qur’an.
[3] Prayitno, Irwan. (2002). Ma’rifah Al-Qur’an. Bekasi: Pustaka Tarbiatuna.