ChanelMuslim.com- Merapatnya Partai Persatuan Pembangunan kubu Romahurmuziy ke paslon Ahok-Djarot di Pilkada DKI Jakarta akhirnya benar-benar terjadi, setelah sebelumnya terombang-ambing dalam ketidakpastian. Kader PPP, khususnya di DKI Jakarta pun terperangah. Bibit perpecahan baru di partai berlambang Ka’bah ini pun tak lagi terhindarkan.
Politik kadang memang menyakitkan. Seperti itulah perasaan yang kini dialami lebih dari 75 persen kader PPP DKI Jakarta pasca keputusan DPP PPP kubu Romi merapat ke Ahok-Djarot. Angka itu merupakan hasil poling internal PPP seperti disampaikan Sekjennya Asrul Sani beberapa waktu lalu. Bahwa, hanya sekitar 12 persen saja kader PPP yang mendukung Ahok-Djarot.
Pertanyaannya, kenapa kubu Romi mengikuti kubu Djan Faridz dalam dukungannya di Pilkada DKI Jakarta. Padahal, keduanya terpisah secara diametral dalam banyak hal. Termasuk hal yang paling mendasar, yaitu soal keabsahan kubu mana yang paling sah.
Secara strategis, kubu Romi tentu tidak memasukkan kubu Djan Faridz dalam kalkulasi ke arah mana mereka akan memberikan dukungan. Ini kebetulan saja. Di mana keduanya sedang berada dalam bayang-bayang vonis sah atau tidaknya kubu mereka. Dan palu vonis itu saat ini berada di tangan pemerintah yang notabene partai pengusung Ahok-Djarot.
Menariknya, kubu Romi, di awal proses Pilkada DKI, sepertinya tidak begitu yakin kalau faktor dukungan ke Ahok-Djarot menjadi variabel signifikan ke arah mana vonis sah-tidaknya kubu akan diketuk. Tidak heran jika di putaran pertama, kubu ini sempat “bermain-main” dengan berkoalisi ke Agus-Silvy.
Hal yang berbeda dilakukan dengan kubu Djan Faridz yang sejak awal langsung mengambil posisi ke pihak pemerintah. Dan benar saja, sinyal ke arah mana vonis akan jatuh mulai disuarakan Yasona Laoly, sebagai pihak eksekutor yang akan menjatuhkan vonis.
Menteri Kumham ini pernah mengisyaratkan bahwa kubu Djan Faridz masih ada peluang sebagai pengurus PPP yang sah.
Inilah pertaruhan eksistensi yang kini dialami PPP kubu Romi. “Bermain-main”nya di putaran pertama Pilkada DKI dengan berkoalisi ke Agus-Silvy telah membuahkan lampu kuning soal eksisten itu. Dan tidak tertutup kemungkinan akan benar-benar menjadi lampu merah jika tetap melanjutkan “main-main”nya di putaran kedua Pilkada DKI dengan mendukung Anies-Sandi.
Faktor mendasar inilah yang akhirnya membedakan antara PPP dengan PAN dan PKB yang begitu luwes di Pilkada DKI. Karena PAN dan PKB tidak punya persoalan dengan eksistensi.
Masalahnya, dan ini tentu juga menjadi fokus utama kubu Romi dalam mengambil keputusan, Ahok bukan sekadar diusung PDIP yang memang tidak ada persoalan dalam soal teman koalisi. Bukan juga karena Ahok non muslim. Melainkan karena Ahok terjerat dalam kasus penistaan agama.
Kasus ini seperti bom waktu buat PPP yang akan benar-benar meledak jika memang terbukti Ahok diputus pengadilan sebagai pelaku penistaan agama.
Bagaimana mungkin sebuah partai yang berasas Islam dan berlambang Ka’bah bisa mengambil langkah strategis untuk mendukung calon yang menjadi terdakwa dan berpotensi menjadi terpidana sebagai pelaku penista agama Islam.
Dengan kata lain, ada dua konflik eksistensi yang dialami kubu Romi dalam mengambil keputusan di Pilkada DKI. Pertama adalah konflik ideologis sebagai partai yang harus seirama dengan aspirasi umat Islam. Dan kedua, konflik strategis di mana vonis keabsahannya sedang dipertaruhkan.
Sayangnya, kubu Romi seperti lupa bahwa eksistensi sejati sebuah partai bukan sekadar pada keabsahan. Melainkan adanya dukungan penuh dari kader dan konstituen yang menjadi otoritas tertinggi pemberi amanah perjuangan partai.
Kini, PPP bukan sekadar berada di bawah bayang-bayang dua kubu yang sedang berebut vonis keabsahan dari pemerintah. Melainkan, bayang-bayang baru lahirnya generasi yang akan menjadikan PPP tidak lagi cuma dua kubu. Dan kubu baru ini mendasari gerakannya pada eksistensi ideologis: partai Islam berlambang Ka’bah. (mh/foto: jk)