MILITER Gaza adalah yang terbaik di dunia. Kalimat tersebut merupakan salah satu penggalan dari tulisan berjudul “Gaza Bangsa Terkuat dengan Militer terbaik” yang ditulis oleh Dr. Maimon Herawati, S.Sos., M.Litt (Lulusan S2 Kajian Palestina).
Tulisan ini muncul sehari setelah pernyataan salah satu capres yang mengatakan bahwa Gaza lemah, akibatnya dijajah oleh Israel.
Benarkah keadaan Gaza sekarang disebabkan oleh militer mereka yang lemah?
Sontak wajah ribuan balita yang sebagian tubuhnya terpotong harus dihadirkan dalam ingatan.
Baru tadi malam seorang rekan jurnalis memposting di media sosialnya.
Dia membawa serpihan tubuh sesama rekan jurnalis yang dibom Israel penjajah dalam kantong plastik.
Sejak presiden Indonesia pertama, titik berdiri negara Indonesia jelas, Palestina adalah bangsa yang dijajah.
Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Oleh karena itu, posisi Indonesia adalah membela Palestina hingga Palestina merdeka.
Presiden Sukarno berkali-kali melakukan aksi penolakan akan Israel sebagai bentuk pembelaan pada Palestina.
Presiden Jokowi juga demikian.
Apa yang terjadi di Gaza, Tepi Barat, dan Al Quds saat ini bukan karena militer Gaza lemah.
Apa yang kita lihat di depan mata, kadang melalui live-streaming wartawan, adalah penghancuran kehidupan oleh Israel penjajah menggunakan bom 45.000 bom dalam rentang tiga bulan, setara dengan tiga bom atom Hiroshima.
Patut dicatat, luas Gaza hanya 365 km2, hanya sedikit luas dibandingkan Kota Bekasi yang luasnya 210 km2 atau hanya seperempat luas Kabupaten Sumedang.
Wilayah sekecil ini dihuni dua juta warga sehingga menjadi wilayah terpadat di dunia.
Penjajah Israel menghancurkan RS, sekolah, masjid, pemukiman penduduk, bahkan tenda-tenda pengungsian.
Penjajah tidak malu-malu menggunakan senjata fosfor putih yang dilarang PBB di wilayah sipil.
Senjata ini akan membakar kulit dan organ manusia saking panasnya.
Dalam investigasinya, New York Times menyebut penggunaan bom berkekuatan 2 ton sebanyak 208 kali di wilayah yang disebut aman untuk pengungsi, Gaza Selatan.
Sekali bom ini mengenai rumah, dinding rumah hancur seperti debu.
Tubuh yang di dalamnya tercerai berai. Bom ini disuplai Amerika.
Apa yang terjadi di Gaza bukan karena militer Gaza lemah, tapi karena kebrutalan penjajah yang didukung negara adi kuasa pemilik hak veto di Dewan Keamanan PBB.
Pada Sidang Umum PBB 13 Desember 2023, 153 negara anggota PBB menyetujui resolusi PBB yang meminta gencatan senjata di Gaza, namun Israel, Amerika, Austria, Guatemala, Republik Czech, Liberia, Micronesia, Nauru, Papua Nugini, Paraguai menolak.
Resolusi ini lolos karena didukung suara mayoritas namun perlu masuk ke Dewan Keamanan sehingga memiliki kekuatan di lapangan.
Saat Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi senada yang memiliki kekuatan mengikat, Amerika memveto resolusi itu.
Dengan demikian, Dewan Keamanan PBB tidak bisa memaksa penghentian serangan akan Gaza.
Apa yang sedang terjadi di Gaza adalah pembantaian warga sipil yang dilakukan oleh penjajah didukung oleh penyuplai terbesar senjata pembunuh massalnya, Amerika.
Ini bukan tentang militer lemah atau kuat.
Ini adalah potret kejamnya penjajahan yang didukung negara kolonial Barat walaupun mayoritas negara dunia mengecamnya melalui resolusi di PBB.
Sungguh tidak elok menjadikan genosida yang masih berlangsung di depan mata sebagai salah satu contoh untuk menguatkan argumen tentang pentingnya militer yang kuat.
Sejatinya bukan kokoh dan lemah militer Gaza yang menjadi sebab genosida saat ini.
Tapi genosida terjadi karena penjajah sangat kejam yang terus dibiarkan dengan kejahatan perangnya sejak 1947.
Argumen genosida Gaza terjadi karena militer Gaza lemah, mirip dengan:
‘Kenapa hei kamu, perempuan, lemah banget sehingga bisa diperkosa. Kamu diperkosa ini salah kamu karena kamu lemah, tidak bisa melawan pemerkosa’. Kira-kira demikian.
baca juga: Hikmah Allah dari Perang Gaza
Militer Gaza Terbaik di Dunia
Ahli militer, Mayor Jenderal Fayes al Duwairi berkali-kali memuji strategi militer Brigadi Al Qassam dan faksi militer perlawanan lainnya.
Dengan kecerdasan membaca lapangan dan keberanian pasukan, Qassam sukses menghancurkan kekuatan Brigade Golani, pasukan elit Israel penjajah, sehingga Brigade Golani ditarik dari Gaza.
Selain penguasaan lapangan dan keberanian pasukan, Brigade Al Qassam juga mengembangkan senjata mereka dengan baik.
Setiap senjata untuk target tertentu. Satu roket Yassin 105 yang perakitannya dengan biaya sekitar 3 juta Rupiah sanggup menghancurkan Tank Merkava yang berharga lebih dari 5 milyar Rupiah.
Sistem pengaman trofi Merkava gagal berfungsi karena modifikasi roket Yassin 105 yang meledak dua kali.
Masih ada beberapa jenis senjata lainnya yang dikembangkan Al Qassam di dalam Gaza yang diblokade Israel penjajah hingga menjadikan Gaza seperti penjara terbesar di dunia.
Selain modifikasi ini, keberanian pasukan Al Qassam menjadikan penghancuran Merkava mudah dilakukan di Gaza.
Beberapa kali video Brigade Al Qassam menunjukkan proses penghancuran Merkava dengan cara roket atau bom diantar langsung secara personal oleh salah satu pasukan Al Qassam ke atas Merkava.
Seorang mantan tentara elit Amerika di media sosialnya, Greg Stoker, mengecam ini sebagai kelalaian Israel yang tidak menjaga tank dengan pasukan infanteri.
Tanpa pasukan infanteri, Merkava canggih ini akan seperti the sitting duck, sasaran empuk yang gampang dihancurkan.
Al Qassam dan faksi perlawanan lain seperti Brigade Al Quds dan lain-lain melatih tentaranya dengan baik.
Sampai hari ke-93 Topan Aqsha, militer Palestina masih melawan Israel penjajah yang katanya memiliki kekuatan militer hanya di bawah Rusia, Amerika, Cina.
Jika digabungkan dengan Amerika, yang dihadapi Gaza saat ini adalah militer paling kuat di dunia.
Militer Gaza adalah terbaik di dunia yang didukung oleh ketabahan bangsanya yang luar biasa.
Lebih 22 ribu warga Gaza meninggal karena pengeboman Israel penjajah dan ribuan lainnya masih di bawah reruntuhan.
‘Kami bersama para pejuang. Kehilangan ini adalah bagian dari mendukung perjuangan’, kalimat yang sering diucap warga Gaza saat kehilangan anggota keluarga.[ind]