Oleh: Sapto Waluyo
Pendiri Center for Indonesian Reform (CIR)
SEPERTI diprediksi sejumlah lembaga survei, Recep Tayyip Erdogan, berhasil memenangkan pemilihan presiden putaran kedua di Turkiye (28/5/2023). Padahal, pada putaran pertama pilpres, hampir semua lembaga survei justru meramal kekalahan Erdogan dan keunggulan penantangnya Kemal Kilicdaroglu.
Hasil penghitungan suara Dewan Pemilihan Tertinggi (YSK) menunjukkan Erdogan memperoleh 52,14 persen dan Kemal menguntit ketat 47,86 persen. Pada putaran pertama, Erdogan hanya meraih 49,50 persen dan Kemal mendapat 44,89 persen. Sementara kandidat ketiga Sinan Ogan (5,17 persen) dan kandidat keempat yang mengundurkan diri masih kecipratan 0,44 persen karena fotonya sudah terlanjur tercetak dalam kertas suara. Pada putaran kedua, Ogan menyatakan mendukung Erdogan, namun ternyata suara pemilihnya terbela sama untuk Erdogan dan Kemal. Hasil itu memperlihatkan kompetisi di Turkiye memang berlangsung sangat ketat, tidak hanya mesin politik yang bekerja, tetapi juga kharisma kandidat dan dukungan para tokoh vote getter, termasuk pihak mancanegara dengan kepentingan masing-masing.
Sejumlah isu nasional mencuat dalam pemilu yang ditandai momen penting, yaitu 24 Juli 1923 adalah ditandatangani Perjanjian Lausanne, pengakuan internasional terhadap Republik Turki yang dipimpin Mustafa Kemal. Pemilu yang digelar tepat ketika Republik Turki berusia 100 tahun. Khusus bagi kalangan sekuler, pada 29 Oktober 1923 tercatat: Republik Turki (Turkiye Cumhuriyeti) berdiri, mengakhiri masa kekuasaan Dinasti Utsmaniyah (Devlet-I Aliyye-yi Ormaniyye) yang berdiri sejak 1299. Untuk itu, pada hari pencoblosan putaran pertama, Kemal Kilicdaroglu menziarahi makam Mustafa Kemal, sedang Erdogan shalat maghrib di Masjid Aya Sophia. Bukan kebetulan, tanggal 29 Mei 1453 adalah tanggal ditaklukkannya Kota Konstantinopel oleh pasukan Muhammad al-Fatih. Erdogan dan pendukungnya merayakan kemenangan ganda hari ini.
Kemenangan tipis ini merupakan alarm buat Erdogan dan Aliansi Kerakyatan (AKP, MHP, New Refah, BBP) yang juga memenangkan (49 persen) pemilu legislatif (14/5) dengan margin tipis atas Aliansi Kebangsaan (CHP, IYI Party, DEVA Geleck, Saadet, Democrat) yang mendapat 35 persen. Sementara Alian Buruh dan Kebebasan (11 persen), Aliansi Pendiri Bangsa (2 persen) dan Aliansi Sosialis (0 persen).
Bila kita bandingkan hasil pemilu 2023 dengan pemilu 2018 sebelumnya, maka terlihat kursi AKP berkurang (28) dari 295 kursi (2018) menjadi 267 kursi (2023). Sementara kursi oposisi (CHP) bertambah (23) dari 146 kursi menjadi 169 kursi. Kekuatan Islamis terbelah antara Yeniden Refah (5 kursi) di kubu petahana dan Saadet (10 kursi) di kubu oposisi. Bagi pengamat asing dan media Barat, AKP dipersepsikan sebagai kekuatan islamis yang menghidupkan nilai-nilai New Ottoman. Tetapi, pimpinan AKP menegaskan diri sendiri sebagai demokrat konservatif (terutama nilai-nilai sosial) atau sekulerisme pasif (untuk membedakan dengan mayoritas partai sekuleris aktif atau Kemalisme di Turki).
Melihat perimbangan kursi parlemen Turki, posisi AKP dan Erdogan bisa terancam, bila MHP (50 kursi) berpindah ke oposisi. Di situlah, kompromi kebijakan dilakukan antar partai politik. Kita melihat kematangan sistem politik demokrasi di Turki, sehingga kekuatan sipil relatif berdaulat dan kekuatan militer serta oligarki ekonomi dapat dikendalikan. Kelas menengah masyarakat Turki cukup besar dan independen secara ekonomi dan politik, sehingga tidak terjadi polarisasi di kalangan akar rumput. Dinamika dan goncangan politik domestik tidak terlalu berpengaruh terhadap kinerja pertumbuhan ekonomi nasional.
Sejak sistem multipartai diterapkan 1946 di Turki, AKP adalah satu-satunya partai yang memenangkan 6 kali pemilu legislatif atau dua kali hatrick. Tokoh AKP juga memimpin pemerintahan nasional sejak 2022 di bawah PM Abdullah Gül (2002–2003), PM Recep Tayyip Erdoğan (2003–2014), PM Ahmet Davutoğlu (2014–2016), PM Binali Yıldırım (2016–2018) dan Presiden Recep Tayyip Erdoğan (2018–sekarang). Pada 2017 terjadi perubahan konstitusi yang mengubah sistem parlementer menjadi presidensial. Erdogan sangat piawai mengelola perimbangan kekuatan politik untuk menjalani periode kekuasaannya yang cukup panjang (21 tahun) dan sekarang dipercaya untuk memimpin lima tahun ke depan.
Mungkin hanya Vladimir Putin dari Rusia yang dapat menyamai kelihaian Erdogan dalam mengelola kekuasaan. Putin telah berganti jabatan beberapa kali, dari perdana menteri (1999), menjadi presiden (2000-2008), kembali sebagai perdana menteri (2008-2012), dan jadi presiden lagi (2012) hingga sekarang. Dengan amandemen konstitusi Rusia hasil referendum 2020, maka Putin bisa berkuasa hingga 2036 mendatang.
Ada satu lagi tokoh dunia yang sukses mengelola kekuasaannya, yaitu Presiden RRC Xi Jinping. Xi memulai karir politiknya dari bawah hingga menjadi Gubernur Fujian pada 1999 dan masuk dalam jajaran Politbiro PKC pada 2007. Sejak tahun 2013, Xi menjabat Sekretaris Jenderal PKC dan sekaligus Presiden RRC. Pada akhir periode pertama kekuasaannya (2018), Xi melakukan perubahan besar terhadap konstitusi China yang menghapus pembatasan masa jabatan selama 2 periode. Padahal, sepanjang sejarah pemerintahan RRC modern, hanya ada dua pemimpin yang menjabat hingga periode ke-2, yakni Hu Jintao dan Jiang Zemin. Xi ingin melampaui limit tersebut, dengan alasan hal itu menghalangi RRC untuk maju dan mendapat kepemimpinan yang kuat di tengah persaingan global. Xi juga membuat ideologi baru, sosialisme yang disesuaikan dengan tuntutan masyarakat RRC kontemporer. Dalam Kongres Nasional PKC tahun 2023, Xi ditetapkan sebagai Presiden untuk periode ketiga dan mungkin berlaku seumur hidup.
Tentu saja tidak adil untuk membandingkan Erdogan dengan Putin atau Jinping karena sostem politik Turki yang berbeda dengan Rusia dan RRC, serta karakteristik masyarakatnya yang juga tak sama. Namun, kecenderungan tentang munculnya kepemimpinan yang kuat (strong leadership) sebagai prasyarat bagi kemajuan ekonomi dan stabilitas kawasan telah menjadi diskursus tersendiri. Apakah hal itu akan mengarah pada otoriterianisme atau otokratisme baru?
Di sisi lain yang pelru dicermati dalam dinamika politik Turki adalah pemilihan kepala daerah yang tidak mesti sejalan dengan hasil pemilu nasional. Pemilihan Gubernur dan Walikota di Turki akan dilakukan pada bulan Maret 2024. Aliansi Kerakyatan pimpinan AKP mungkin akan melakukan rebound. Pada Pilkada tahun 2019, Aliansi Kerakyatan meraih 51,62 persen suara dan tokoh AKP menduduki jabatan 15 Walikota, 25 Gubernur dan 534 Bupati. Sementara Aliansi Kebangsaan mendapat 37,56 persen suara dengan CHP menduduki 11 Walikota, 10 Gubernur, dan 191 Bupati.
Tahun itu, merupakan gempa kecil bagi AKP karena kehilangan kursi Walikota di: Istanbul (direbut Ekrem Imamoglu), Ankara (Mansur Yavas), Bursa (Alinur Aktas), Izmir (Tunc Soyer), dan Adana (Zeydan Karalar). Apakah tahun depan, AKP bisa memulihkan kepercayaan masyarakat Turki, sangat tergantung dari tokoh yang ditampilkan dan komunikasi politik terhadap konstituen yang bergerak dinamis.
Kalangan muda Turki cukup kritis dan beranjak menuju kelas menengah independen.
Tantangan utama Erdogan saat ini adalah dirinya sendiri (the enemy is himself), karena tak ada tokoh yang popular dan cukup kuat untuk menggantikannya. Kenyataan itu dapat dilihat sebagai awal krisis kepemimpinan di AKP dan bagi bangsa Turki secara umum. Pemimpin yang sukses adalah yang mampu melahirkan generasi pengganti yang lebih kuat dari dirinya sendiri. Dalam hal ini, Turki berhutang sejarah pada sosok Necmetin Erbakan, PM Turki (1996-1997) yang mampu melahirkan pemimpin sekelas Erdogan (pada tahun 1999 menjadi Walikota Istanbul dan tahun 2022 menjadi PM Turki). Apakah Erdogan sanggup meniru jejak Erbakan, masih perlu ditunggu terobosan politiknya.
Tak bisa dipungkiri, Erdogan mendapat banyak kritik dan ditinggalkan mitra seniornya seperti: Abdullah Gul (mantan Presiden), Ahmed Davutoglu (mantan Menlu dan PM, sekarang mendirikan Future Party), dan Ali Babacan (mantan Menteri Ekonomi, mendirikan Deva Party yang bergabung dengan oposisi). Apakah Erdogan tidak percaya dengan sesama kolega yang turut membesarkan AKP dan menancapkan citra positif di panggung domestik maupun global? Ketika Republik Turki memasuki usia 100 tahun, jawaban atas pertanyaan tentang regenerasi kepemimpinan nasonal akan menjadi sorotan internasional. Bagi sejumlah negara yang baru bangkit (emerging countries), Turki menjadi salah satu role model pengembangan demokrasi dan kemajuan ekonomi.
Erdogan sebenarnya cukup akomodatif membangun kepemimpinan nasional, antara lain menggandeng Numan Kurtulmus (Wakil Ketua Umum AKP saat ini). Numan dikenal sebagai politisi senior yang bersama Erbakan di Virtue Party (1998-2001) dan Felicity Party (2001-2010). Pada tahun 2010, Numan berpisah jalan dengan Erbakan dan mendirikan People’s Voice Party (2010-2012). Melihat potensi Numan, akhirnya Erdogan mengajaknya bergabung ke dalam AKP dan melakukan fusi partai politik. Melihat kondisi saat ini, kecil peluang Numan (64 tahun) akan menjadi pengganti Erdogan (69 tahun) karena usia yang cukup lanjut, namun ia memilih tetap loyal.
Gejala yang patut diwaspadai adalah munculnya nepotisme dalam kekuasaan, yakni menantu Erdogan bernama Berat Albayrak, yang sejak 2015 bergabung dalam kabinet dan pernah menjabat Menteri Energi serta kemudian Menteri Keuangan. Pada tahun 2020, Albayrak mengundurkan diri setelah krisis keuangan melanda Turki dan Erdogan memecat Gubernur Bank Sentral Murat Uysal akibat nilai tukar Lira yang merosot tajam. Satu lagi sosok menantu Erdogan adalah Selcuk Bayraktar yang menjadi CEO perusahaan drone kelas dunia dan mendapat proyek prestisius. Sejauh ini belum terlihat tanda Bayraktar mau masuk ke gelanggang politik. Apakah Erdogan akan menyerahkan tongkat estafeta kepemimpinan di partai (AKP) dan pemerintahan kepada keluarga dekatnya atau tokoh yang teruji dalam jabatan publik? Hal itu akan membedakan Erdogan dengan pemmpin Turkin lainnya.
Politik sering diselimuti dengan mitologi. Kharisma Mustafa Kemal sebagai Bapak Turki (Ataturk) belum tergantikan, betapapun besar kerusakan yang telah ditimbulkannya bagi bangsa Turki. Lalu, Erdogan berupaya memulihkannya sebagaimana rintisan awal dilakukan oleh Adnan Menderes (PM tahun 1950-1960). Dalam persepsi alam bawah sadar rakyat Turki, jasa Erdogan belum dapat menandingi pengorbanan Kemal, meskipun pada saat kampanye pemilu terpampang billboard besar: Mustafa Kemal (1923 Istiklalin 100’U = 100 persen merdeka) berdampingan dengan Erdogan (2023 Istikbalin 100’U = 100 persen masa depan). Kedua tokoh disandingkan dengan tagline: Dogru Zaman Dogru Adam (orang yang tepat di zaman yang tepat).
Kemenangan dalam pilpres memberi kesempatan kepada Erdogan untuk menjadi orang yang tepat dalam mewujudkan transformasi bangsa Turki menjadi negara maju, demokratis dan kuat. Dilema antara kemajuan ekonomi dan demokrasi pluralis membutuhkan keberanian dan kecerdasan untuk dituntaskan. [Mh]