KAUM muda Muslim dari seluruh Kanada berkumpul di Winnipeg selama akhir pekan untuk menghadiri konferensi unik yang bertujuan mengatasi tantangan dan peluang yang dihadapi generasi mereka.
Disponsori oleh Asosiasi Layanan Sosial Islam Winnipeg, acara tersebut menandai yang pertama dari jenisnya di negara tersebut, yang mempertemukan sekitar 60 orang dewasa muda selama tiga hari untuk berdialog, berefleksi, dan belajar, dikutip dari aboutislam.net.
“Ini adalah isu yang sangat serius bagi pemuda Muslim saat ini,” ujar Lila Mansour, mahasiswa magang berusia 26 tahun asal Toronto, saat berbicara tentang pentingnya diskusi kesehatan mental.
Ia menekankan bagaimana tekanan identitas dan rasa memiliki sangat membebani pemuda Muslim yang menjalani kehidupan di Kanada.
Baca juga: Perawat Muslim Aljazair Tewas di Dalam Tangga Gedung Apartemennya di Arnum
Kaum Muda Muslim Kanada Berkumpul untuk Atasi Tantangan dan Peluang Generasi Mereka
Peserta mengeksplorasi berbagai topik—dari kesehatan mental dan trauma hingga hak-hak sipil, keberagaman gender, dan Islamofobia.
Ada pula refleksi yang sangat pribadi tentang bagaimana isu politik di luar negeri, seperti perang di Gaza, memengaruhi kaum muda Muslim di sini, di dalam negeri.
“Ini cara yang bagus untuk terhubung dengan orang lain di seluruh Kanada dan belajar dari mereka serta berbagi ide,” kata Ayesha Sultan, 23 tahun, dari Winnipeg, menyoroti rasa kebersamaan yang tercipta akibat acara tersebut.
“Ada banyak hal yang bisa kita pelajari satu sama lain.”
Moderator konferensi Jamie Carnegie, anggota dewan Asosiasi Layanan Sosial Islam, mencatat pentingnya membantu kaum muda Muslim mengevaluasi media secara kritis dan mencari sumber yang dapat dipercaya.
“Pemuda Muslim, seperti pemuda lainnya, memiliki banyak sumber informasi saat ini,” kata Carnegie. “Tujuan kami adalah membantu mereka menemukan sumber tepercaya dan memahami apa yang dilaporkan.”
Salah satu isu tersebut adalah bagaimana media menggambarkan wanita Muslim, khususnya atlet yang mengenakan jilbab.
“Islamofobia yang berbasis gender adalah lapisan lain yang harus dihadapi oleh pemuda Muslim,” tambah Carnegie.
Bagi banyak orang, diskusi seputar Gaza sangatlah mendesak.
Aasif Bulbulia, 28, dari Pusat Islam Darul Falah Regina, menghargai ruang untuk berbicara terbuka tentang Palestina dan krisis kemanusiaan yang terjadi di sana.
“Bagaimana kita mengatasinya?” tanyanya.
“Bagaimana kita bisa saling melengkapi untuk melawan apa yang terjadi ketika anak-anak kelaparan dan dibunuh?”
Bulbulia menyatakan keinginannya untuk membangun aliansi antaragama dan etika guna menghadapi ketidakadilan.
“Kita semua seharusnya berdiri bersama orang-orang yang terpinggirkan dan menderita,” katanya.
Bagi Lila Mansour, percakapan tersebut memberikan validasi sekaligus tantangan. Sebagai seorang Muslimah berhijab, ia berkata, “Itu langsung menandai kita berbeda. Bagi sebagian orang, ada bias.”
Berbicara untuk Palestina, tambahnya, terkadang bisa membuat orang lain merasa tidak nyaman. “Kehadiran saya sendiri bersifat politis bagi mereka… Saya berhati-hati dengan apa yang saya katakan tentang Gaza.”
Konferensi tersebut juga menampilkan pidato dari Menteri Pendidikan dan Pelatihan Lanjutan Manitoba, Renée Cable, yang menyebut pertemuan tersebut “sangat penting.”
Bagi banyak peserta, acara tersebut lebih dari sekadar lokakarya akhir pekan—melainkan kesempatan untuk merasa dilihat, didengar, dan terhubung dalam pengalaman bersama sebagai orang muda, Muslim, dan warga Kanada. [Din]