Oleh : Khairul Hibri/Ketua Penulis Muda Nusantara (PENA) Jawa Timur
chanelmuslim.com – Meski hanya seekor burung, Nabi Sulaiman tetap mengedepankan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan hukum terhadap hud-hud.
Pembangkangan’nya tidak turut hadir beserta peserta ‘rapat’ lain, tidak lantas membuat si raja Sulaiman kalap, sehingga menghukum secara sepihak bawahannya, tanpa dilakukannya proses tabayyun.
Maka ditunggunyalah kedatangan burung Hud-hud itu. Diselidiki persoalan ketidakpatuhannya terhadap titah yang dikeluarkan. Setelah jelas perkara, ternyata ia memiliki udzur syar’i/alasan yang logik, barulah diketahui, bahwa si Hud-hud bebas dari dugaan bersalah.
Selamatlah Nabi Sulaiman dari perbuatan zhalim. Dan terhindarlah si hud-hud dari kesewenang-wenangan penguasa.
Kuncinya ada pada satu tindakan, dialog/tabayyun. Karena boleh jadi, apa yang disangka oleh penguasa, itu bertolak belakang dengan realitas di lapangan. Dialog inilah yang akan mempertemukan benang merah dua pandangan yang semulanya dinilai berseberangan.
Bahkan, dari hasil dialog ini, didapati bukan hanya memberi kebaikan dua makhluk tersebut di atas, namun juga membawa kemaslahatan lebih luas bagi umat, karena mampu menjadi wasilah pencerahan/hidayah masuk Islamnya suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita, yang semulanya ingkar kepada Allah.
Pemblokiran Media
Pada awal 2017 ini, kembali umat Islam dikejutkan oleh keputusan pemerintah memblokir beberapa situs Islam. Disinyalir, situs-situs bersangkutan banyak menginformasikan persoalan yang memiliki unsur radikalisme dan terorisme di mana itu bisa membahayakan keutuhan NKRI.
Benarkah?
Entahlah. Sebab definisi naskah yang bermuatan radikalisme dan terorisme sendiri masih abu-abu. Belum ada kesepakatan baku. Masih sepihak.
Cukuplah blunder pemerintah memblokir puluhan situs Islam pada tahun 2015 silam sebagai buktinya, betapa masih mentahnya unsur-unsur yang dijadikan landasan untuk mengecap sebuah naskah berita/opini tergolong penyebar radikalisme dan terorisme.
Namun ada satu kepastian, dan ini yang ingin disoal dalam catatan singkat ini, pemerintah sama sekali belum melakukan dialog dengan pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap situs-situs terbelokir itu.
Jangankan dialog, sekedar informasi pemberitahuan saja tidak. Artinya langkah yang diambil, langsung sikat bersih. Pokoknya situs dipandang ‘menyimpang’, langsung diblokir.
Kita tidak menyoal bila situs yang dihapus itu berstatus abal-abal. Tapi kalau situs itu memiliki tim keredaksian yang jelas, alamat kantor yang terpampang (bisa dihubungi), menjadi rujukan jutaan pembaca, maka bisa dikategorikan ini tindakan yang sangat gegabah. Karena jauh dari unsur kebijaksanaan.
Kebijaksanaan pemimpin terletak sejauh mana mengedepankan proses dialog dalam setiap keputusan yang diambil, ketika terjadi perselisihan. Bukan mengutamakan ego atau dugaan. Dan ini juga yang menjadi landasan bernegara kita, Indonesia, yang tertuang dalam salah satu butir Pancasila: permusyawaratan.
Namun, kasus pemblokiran media Islam ini, yang nampak adalah keotoriteran penguasa. Mengedepankan kehendak, hanya karena dipandang tidak sesuai dengan selera.
Berkaca dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman terhadap burung Hud-hud, seharusnya pemerintah juga mengedepankan proses dialog ini. Karena belum tentu juga kebenaran berada pada pihak pemerintah. Inilah pentingnya dilakukan dialog. Apa lagi, sudah menjadi rahasia umum, presiden Joko Widodo, merupakan sosok yang dikenal lebih mengedepankan proses dialog dalam mengatasi persoalan, terutama yang berkaitan dengan khalayak umum.
Misal, masalah penggusuran. Lalu mengapa pola ini juga tidak diterapkan dalam menangani media-media Islam yang dipandang radikal?.
Sebab bukan suatu kemustahilan, titik temu juga akan didapatkan dari hasil dialog itu, sebagaimana yang telah diperoleh oleh Nabi Sulaiman dan burung Hud-hud.
Dan kalau itu sudah terjadi, keduanya bisa saling ‘bergandengan’ tangan menghantarkan negeri ini lebih baik lagi di masa mendatang, sebagaimana kesuksesan Nabi Sulaiman dan Hud-hud menjadi hidayah bagi ratu Bilqis.