PENETAPAN status Ketua KPK Firli Bahuri sebagai tersangka kasus pemerasan dan penerimaan gratifikasi oleh Polda Metro Jaya membuat pemberantasan korupsi di Indonesia kembali ke titik nol.
Sebab, lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menangkal korupsi justru terjerumus sebagai pelaku utama, meskipun Firli mengajukan gugatan pra-peradilan.
Hal itu dinyatakan para aktivis Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Indonesia saat menyatakan nota keprihatinan kepada Dewan Penasehat KPK.
“Proses pemeriksaan terhadap FB harus dituntaskan hingga pengadilan. Pihak Kepolisian perlu menjaga profesionalitas dan transparansi, jangan terpengaruh tekanan politik dari manapun. Sementara itu, pihak lain jangan melakukan intervensi karena ini menyangkut kredibilitas pemberantasan korupsi di Indonesia,” ujar Harlans M. Fachra yang menjabat Konsulat Nasional GeRAK Indonesia.
GeRAK Indonesia adalah aliansi organisasi antikorupsi di berbagai daerah yang sejak masa reformasi 1998 mengawal agenda pemberantasan korupsi, antara lain UU Antikorupsi Nomor 31 Tahun 1999 yang menetapkan perlunya lembaga independen KPK. Pada tahun 2003, eksponen GeRAK di seluruh Indonesia ikut mengawal proses pembentukan dan pemilihan Komisioner KPK periode perdana.
Bahkan, aktivis GeRAK Aceh melaporkan kasus korupsi perdana yang ditangani KPK, yaitu melibatkan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh.
“Pada awal berdirinya, KPK berinteraksi dan berkolaborasi dengan aktivis antikorupsi yang memiliki basis komunitas. Bahkan, kemudian muncul figur-figur berintegritas dari kalangan masyarakat sipil yang mendukung dan ikut memimpin KPK. Setelah beberapa periode terjadi kemunduran karena pimpinan KPK menjadi rebutan bagi para pejabat dengan latar belakang kepolisian, kejaksaan, auditor publik atau pejabat kementerian,” ungkap Sapto Waluyo yang pernah menjadi anggota Tim Penyusun RUU KPK tahun 2002.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Firli Bahuri sempat datang ke kantor KPK dan memimpin rapat. Hal itu menimbulkan keresahan bagi sebagian pimpinan dan pegawai KPK karena kepercayaan publik terhadap kredibilitas KPK akan terganggu.
Namun, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan tidak perlu malu dan tidak minta maaf, dengan alasan asas praduga tak bersalah dan proses hukum masih berjalan. Untung, ada Nawawi Pomolango Wakil Ketua KPK yang selama ini bersikap kritis dan menyatakan maaf kepada publik. Presiden Joko Widodo akhirnya memberhentikan Firli untuk sementara dan menunjuk Nawawi sebagai Ketua KPK.
“Masyarakat harus terus mengawal proses hukum atas tersangka FB. Kondisi sekarang agak berbeda dibandingkan saat muncul fenomena Cicak versus Buaya (perseteruan aparat Kepolisian vs KPK). Dulu masyarakat membela KPK hingga muncul gerakan #SaveKPK, karena pihak Kepolisian terlihat menggunakan kekuasaan untuk membela kepentingannya. Namun sekarang masyarakat memandang lebih penting menyelamatkan lembaga dan tidak terjebak kepentingan individu,” papar Harlans yang dikenal sebagai pendiri West Java Corruption Watch (WJCW). Pada tahun 2005 WJCW mengadvokasi kasus penyimpangan dana (kadeudeuh) APBD oleh anggota DPRD Jawa Barat.
Bila FB dinyatakan bersalah dan dipecat sebagai Komisioner KPK, maka posisinya harus digantikan oleh calon pimpinan KPK yang sudah diseleksi oleh Komisi III DPR RI. Selama ini ada dua tokoh yang potensial, yaitu Sigit Danang Joyo (anggota reformasi perpajakan di Kemenkeu) dan Lutfi Jayadi Kurniawan (aktivis Malang Corruption Watch dan dosen). Pada tahun 2022, ketika pimpinan KPK Lili Pintauli Siregar harus diganti, sebenarnya dua kandidat itu yang paling layak. Sayang, Presiden Jokowi malah mengajukan kandidat lain: Johanis Tanak (mantan Jaksa).
“Presiden Jokowi harus mendengarkan aspirasi rakyat yang tercermin dalam voting di Komisi III DPR RI. Dua kandidat yang mendapat suara adalah Sigit dan Lutfi. Jangan sampai posisi pimpinan KPK jadi bancakan politik untuk kapling pejabat kepolisian, kejaksaan, auditor publik atau mantan hakim. Latar belakang aktivis berintegritas sangat diperlukan untuk memulihkan kredibiltas lembaga KPK yang terjerembab ke titik nol,” Sapto menegaskan.
Sapto pernah menjadi Sekretaris Eksekutif MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia) yang mendorong pemeriksaan terhadap kasus korupsi di masa Presiden Soeharto. Rekonstruksi KPK sangat rumit seperti membangun istana pasir. [Mh/GeRAK]