PEMILIHAN umum di sejumlah negara bagian di Malaysia menunjukkan gejala kebangkitan politik Islam atau disebut green wave (gelombang hijau). Itu warna logo yang digunakan Partai Islam se-Malaysia (PAS). Pilihan raya pada 12 Agustus 2023 di enam negeri (provinsi) itu menempatkan PAS sebagai pemenang, meraih 117 kursi dari 237 yang diperebutkan. PAS meninggalkan jauh rekan koalisinya dalam Perikatan Nasional (PN), yakni Bersatu (28 kursi) dan Gerakan (1 kursi).
Koalisi Pakatan Harapan (PH) mendapat kursi dari DAP (46) dan PKR (26). Sementara Barisan Nasional (BN) hanya mampu menyelamatkan kursi UMNO (19). “Hasil ini menunjukkan kubu nasionalis dan pluralis menghadapi tekanan berat. Di negeri Kelantan yang merupakan basis tradisional partai Islam, PAS dan koalisi PN mendominasi 43 kursi, sedang BN/UMNO hanya mendapat 2 sisa kursi. Ini peningkatan yang signifikan dibanding pemilu 2018 ketika PAS hanya mendapat 37 kursi dan BN 8 kursi,” ungkap Sapto Waluyo, Pendiri Center for Indonesian Reform (CIR). Begitu pula di negeri Terengganu, PAS/PN memborong 32 kursi dan tidak menyisakan satupun bagi kompetitornya.
Persaingan ketat di negeri Kedah, pada pemilu 2018, BN/PH menguasai 21 kursi dan PAS mendapat 15 kursi. Namun saat ini kondisi berbalik: PAS/PN menguasai 33 kursi dan BN/PH hanya berhasil mempertahankan 3 kursi. “Kebangkitan partai Islam juga terlihat di negeri yang berkarakter modern-plural seperti Selangor, PAS/PN berhasil meraih 22 kursi (sebelumnya hanya 1 kursi) dan BN/PH menguasai 34 kursi (sebelumnya mayoritas 55 kursi). Selangor merupakan negeri penting karena berdampingan dengan Ibukota Putrajaya dan wilayah persekutuan Kuala Lumpur,” jelas Sapto yang pernah membentuk Yayasan Generasi Baru Nusantara bersama aktivis NGO Malaysia.
Di negeri Pulau Penang yang menjadi basis DAP/PKR, PAS merebut 11 kursi (sebelumnya hanya 1 kursi), sedang PH/BN menguasai 29 kursi (sebelumnya 39). Tsunami hijau berlanjut ke Negeri Sembilan, dimana PAS mendapat 5 kursi (sebelumnya 0) dan BN/PH mempertahankan 31 kursi.
Tanda-tanda kebangkitan politik Islam sudah terlihat saat pemilu nasional pada 19 November 2022. Secara umum, koalisi PH yang mengusung pemimpin oposisi Anwar Ibrahim berhasil memenangkan 82 kursi parlemen. Sementara itu, PN yang mengusung mantan perdana menteri Muhyiddin Yassin menyusul ketat dengan perolehan sebanyak 73 kursi. Sedangkan, koalisi BN yang mengusung perdana menteri Ismail Sabri Yaakob hanya memperoleh 30 kursi. Selanjutnya Gabungan Parti Sarawak (GPS) meraih 22 kursi, Gabungan Rakyat Sabah (GRS) 6 kursi, Partai Warisan Sabah 3 kursi, Partai Bangsa Malaysia 1 kursi dan 2 kursi dimenangkan kandidat independen.
Menurut laporan BBC, 70 persen warga Malaysia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu parlemen kali ini. Jumlah itu 2,5 juta lebih banyak dibanding jumlah pemilih sebelumnya pada 2018. Jumlah pemilih terdaftar dalam pemilu Malaysia 2022 adalah sebanyak 21 juta orang, termasuk 6,23 juta pemilih baru. Peningkatan jumlah pemilih dikarenakan adanya sistem pendaftaran otomatis bagi warga yang memenuhi syarat dan karena usia memilih diturunkan dari 21 menjadi 18 tahun untuk pertama kalinya. Tercatat ada 1,4 juta pemilih golongan usia 18-20, yang dikenal dengan sebutan Undi18.
“Secara khusus, PAS mengembangkan strategi kampanye untuk menjaringan suara pemilih muda dan pemula. Cukup banyak konten-konten menarik yang disebarkan lewat platform media sosial (TikTok dan IG), selain tampilnya kandidat muda untuk mendampingi tokoh senior yang sudah teruji capaian elektoralnya,” papar Sapto. Hasil pemilu nasional mengejutkan para pengamat karena PAS — yang secara historis kurang berpengaruh di kalangan etnis Melayu – berhasil meraih suara terbanyak dengan perolehan 43 kursi dari total 222 kursi parlemen. Partai Aksi Demokratik (DAP) – salah satu partai Chinese sekuler – berada di urutan kedua dengan perolehan 40 kursi. Partai Keadilan Rakyat (PKR) yang dipimpin Anwar Ibrahim hanya memperoleh 31 kursi, sedang partai berkuasa UMNO hanya 26 kursi.
Apa yang menyebabkan PAS mampu meninggalkan partai nasionalis/UMNO dan kubu pluralis (PKR/DAP) dengan menguasai 22 persen kursi parlemen? “Setidaknya ada tiga faktor yang menguntungkan PAS selama periode pemilu, yakni skandal korupsi yang melanda kubu nasional petahana, strategi aliansi yang dibentuk PAS, dan kecerdasan dalam menyampaikan pesan-pesan pada pemilih muda dalam beberapa tahun terakhir,” jelas Sapto yang pernah menulis buku Islam dan Masalah Korupsi di Malaysia dan Indonesia (2010). Citra UMNO selaku partai status quo merosot akibat kasus korupsi para petingginya, mulai dari era PM Najib Razak yang kini dipenjara karena terlibat dalam penyelewengan dana hibah 1MDB (1Malaysia Development Berhad) hingga Zahid Hamidi (Wakil PM yang baru dilantik) yang kini tengah menghadapi beberapa gugatan korupsi.
UMNO telah kehilangan integritas dan kredibilitas sebagai pembela hak-hak Melayu, terutama setelah politisi senior UMNO (dipelopori Mahathir Mohammad) keluar pada tahun 2016 untuk membentuk Bersatu, sambil tetap terang-terangan menjadi nasionalis Melayu. Bersatu kemudian bersekutu dengan PAS membentuk koalisi Perikatan Nasional. Di sini kecerrdasan PAS merangkul elemen nasional yang dipersepsi berlepas diri dari dosa politik warisan UMNO untuk memulihkan Marwah kaum Melayu. Sedangkan Bersatu sengaja merangkul PAS untuk mendapat kredibilitas moral dan kepercayaan mayoritas akar rumput.
Dalam pemilu ini, kampanye Perikatan Nasional fokus pada platform kesejahteraan, antikorupsi, dan stabilitas politik, sembari menyebarkan persepsi bahwa mendukung Barisan Nasional sama saja dengan mendukung korupsi.
Apakah gelombang politik Islam di Malaysia akan berpengaruh kepada negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia? Masih perlu dicermati dinamika politik ke depan, namun perlu dicatat arus perubahan juga terjadi dalam pemilu Thailand (14/5/2023) dengan kemenangan partai baru (Move Forward Party) dipimpin tokoh muda Pita Limjanroenrat (meraih 38,01 persen kursi). Partai anak muda bersama mitra oposisinya Pheu Thai Party pimpinan Paetongtarn Shinawatra (28,86 persen) mengalahkan partai bentukan rezim militer (United Thai Nation) pimpinan Prayut Chan-o-cha (12,55 persen). Meskipun Pita belum berhasil menjadi Perdana Menteri Thailand karena tidak mendapat dukungan mayoritas Senat.
“Arus perubahan semakin menguat di berbagai negara dan kawasan. Siapa yang pandai mengelola elemen perubahan dari kalangan muda akan mendapat dukungan electoral lebih besar,” simpul Sapto. [Mh/CIR]