Chanelmuslim.com – Dua pekan ini, perhatian publik tertuju pada kasus dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Ketua DPR, Setya Novanto. Pelaporan dan penyerahan bukti pelanggaran tersebut telah diserahkan Menteri Esdm, Sudirman Said kepada Mahkamah Kehormatan Dewan DPR.
Proses sidang MKD pun sudah bergulir pekan lalu, dan akan berlanjut pekan ini. Hal yang menarik dari proses ini adalah adanya tindakan perekaman dan pemutaran rekaman secara terbuka yang dilakukan oleh pihak Freeport sebagai sumber informasi utama.
Kemana arah manuver ini? Masalahnya, akibat dari manuver ini sejumlah pihak menjadi terserang secara langsung maupun tidak. Pihak-pihak tersebut adalah presiden dan wakil, Luhut sebagai Menkopolhukam, sederet tokoh lain, dan tentu saja Ketua DPR, Setya Novanto yang menjadi sasaran tembak langsung.
Dari pemutaran rekaman tersebut, publik akhirnya mendapatkan informasi tentang hal-hal di seputar Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla. Sejumlah gambaran negatif tentang Jokowi pun tergambar begitu jelas. Mulai dari keras kepala, masih junior, berada di balik bayang-bayang Megawati, tidak paham kebijakan, dan lain-lain.
Walaupun itu sebagai penilaian subjektif Setya Novanto sebagai mitra pemerintah. Tapi, akurasi penilaian bisa bernilai tinggi karena disampaikan oleh politikus senior, pejabat tinggi, dan disampaikan dalam forum yang relatif ‘jujur’.
Begitu pun dengan sasaran tembak Luhut sebagai Menkopolhukam yang dinilai punya kedekatan dengan presiden sebagai pengambilan kebijakan tertinggi. Sosok Luhut adalah sasaran tembak kedua setelah Presiden Jokowi.
Publik seperti dipertontonkan sebuah ‘on mission’ seorang Luhut yang berada di pemerintah, tapi punya misi dari pihak luar pemerintah. Dalam hal ini sosok Setya Novanto sebagai politikus senior Golkar. Bukan rahasia lagi, Golkar begitu menguasai jaringan birokrasi dan pemerintahan.
Dan terakhir, sasaran tembak yang paling telak adalah sosok Ketua DPR, Setya Novanto. Tanpa harus berpanjang lebar untuk menelisik kasus pelanggaran etik, MKD sebenarnya sudah bisa memutuskan nasib Novanto. Setidaknya, publik sudah punya alat untuk menjustifikasi sosok Ketua DPR yang penuh muslihat.
Dari kasus ini, tembakan yang diletuskan Freeport, begitu efektif. Satu peluru, dengan tiga sasaran: sosok negatif presiden, ‘bermain’nya Luhut, dan upaya muslihat Novanto.
Kemana arah target yang diinginkan
Jika merunut proses upaya perekaman yang dilakukan Freeport melalui pejabat terasnya, Ma’roef Sjamsuddin, yang juga mantan pimpinan Badan Intelijen Negara atau BIN, berujung pada perpanjangan kontrak Freeport yang mulai terancam.
Undang undang Minerba yang mulai berlaku Januari tahun 2014 lalu, mewajibkan semua pelaku pertambangan di Indonesia untuk membuat smelter. Smelter adalah penambahan proses pengolahan tambang menjadi barang jadi. Bukan hanya bahan mentah yang langsung dikirim ke luar negeri.
Selama ini, para pelaku pertambangan khususnya Freeport, tidak mempunyai smelter. Mereka langsung mengirim semua bahan mentah yang diperoleh untuk dikirim ke Amerika. Jika smelter tidak ada, menurut undang-undang tersebut, kontrak karya perusahaan tersebut akan disudahi.
Dengan berbagai macam lobi, Freeport akhirnya berhasil mendapatkan izin perpanjangan pada Januari 2015 di era pemerintahan baru, di mana Jokowi baru menjabat tiga bulan. Kesepakatan itu dengan catatan, perpanjangan dilakukan hanya untuk 6 bulan. Atau berakhir pada Juli 2015. Dan sudah harus ada smelter. Jika tidak terpenuhi, maka Freeport dilarang melakukan pengiriman hasil tambang keluar negeri. Ini artinya, Freeport berhenti operasi.
Masalahnya, biaya pembuatan smelter begitu mahal. Kurang lebih sekitar 115 juta dolar Amerika. Sementara, Freeport belum mendapat garansi adanya perpanjangan kontrak karya. Jika kontrak karya akhirnya disudahi, maka Freeport menganggap bahwa investasi biaya smelter akan menjadi kerugian yang luar biasa.
Keputusan perpanjangan kontrak karya Freeport jatuh pada tahun 2019, atau masa akhir jabatan Presiden Jokowi.
Walaupun, Freeport sudah menyiapkan berbagai benteng hukum yang berlapis. Yang intinya, Freeport tidak boleh diotak-atik, dan kalau itu terjadi, maka akan ada konflik antara Indonesia dengan Amerika. Sebuah konflik yang pernah menjatuhkan mantan Presiden Soekarno pada tahun 1965.
Kenapa Setya Novanto?
Tentunya, Freeport tidak hanya melakukan kunjungan kerja ke DPR saja dalam hal ini Setya Novanto. Seperti pengakuan Direktur Freeport, Ma’roef Sjamsuddin, di kesaksian MKD, bahwa Freeport melakukan ke berbagai lembaga dan tokoh di Indonesia.
Pertanyaannya, kenapa hanya Novanto yang menjadi sasaran tembak utama? Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, kunci sekaligus kendala perpanjangan kontrak Freeport terletak pada Undang-undang Minerba. Dengan kata lain, jika undang-undang tersebut bisa diubah, kendala bisa diatasi. Dan itu membutuhkan sosok Ketua DPR baru yang bisa diajak ‘kompromi’.
Kembali kepada runutan peristiwa. Pernyataan menteri Esdm, Sudirman Said, tentang keterlibatan Novanto di kasus Freeport bermula setelah kunjungan pemerintah ke Amerika pada awal Oktober 2015.
Dikabarkan bahwa pemerintah tetap belum memberikan kepastian soal perpanjangan kontrak dengan Freeport. Kendala utamanya ada di situ: undang-undang minerba.
Apakah manuver yang ramai di MKD ini hasil dari pertemuan pemerintah dengan petinggi dan pengusaha Amerika di Washington lalu? Sulit memberikan kepastian.
Namun, publik saat ini sudah tergiring pada rusaknya sosok ketua DPR. Jika ada pergantian ketua DPR, belum tentu DPR akan mulus melakukan pergantian. Karena bisa jadi, sesuai undang-undang MD3, pimpinan DPR adalah satu paket. Dan boleh jadi pula, skenario menggusur Novanto adalah juga menggusur pimpinan DPR secara keseluruhan. Atau biasa disebut dengan kocok ulang pimpinan dewan.
Bayangkan, kegaduhan seperti apa yang akan terjadi jika gonjang-ganjing itu berlanjut ke pentas terbuka di ‘Senayan’. Walaupun, pergantian pimpinan berlangsung mulus.
Kasus rekaman Novanto akhirnya memberikan penyegaran kepada publik tentang dugaan maraknya mafia di petinggi republik ini. Setelah Novanto, mungkin akan ada yang lain. (mh)