ASPIRASI merupakan isi dari aksi unjuk rasa. Sayangnya, alih-alih menangkap aspirasi, justru aksi tertutupi manipulasi.
Aksi unjuk rasa ‘maraton’ sepekan setelah HUT Kemerdekaan RI kemarin memberikan banyak pelajaran. Ada semacam kesenjangan antara aspirasi dengan penyikapan dari pemangku kekuasaan.
Sejumlah Aspirasi
Aksi besar dan ‘maraton’ lalu merupakan akumulasi dari kekecewaan bahkan kemarahan anak negeri. Setidaknya ini berlangsung sejak awal masa kepemimpinan presiden baru.
Satu, kesenjangan antara efisiensi dan gaji pejabat.
Yang mencolok dari langkah awal pemerintahan baru adalah efisiensi. Baik di kalangan pejabat maupun program pembangunan. Hal ini karena rasio utang yang begitu besar dan pendapatan negara yang terus menyusut.
Berbagai macam efisiensi yang terasa ke pubik. Ada kantor-kantor pemerintah yang mengurangi hari kerja di kantor, pemangkasan perjalanan dinas, bahkan air minum pegawai pun dibawa dari rumah masing-masing.
Namun, di saat yang bersamaan, publik seperti diperlihatkan dengan tingkah pejabat yang seperti ‘difasilitasi’ untuk mendapat lebih dari negara.
Misalnya, rangkap jabatan wakil menteri juga sebagai komisaris perusahaan negara, tunjangan wakil rakyat yang naik fantastis, belanja negara yang seperti ‘jor-joran’ alat perang seperti pesawat tempur, gemuknya struktur pemerintahan, dan lainnya.
Dua, begitu ‘bebasnya’ korupsi.
Di saat rakyat terjepit dengan efesiensi dan krisis ekonomi, pemandangan tidak menyenangkan terjadi tindak pidana korupsi.
Begitu banyak kasus korupsi yang muncul seperti lomba estafet: tak pernah putus. Mulai dari kasus pencucian uang di departemen keuangan, korupsi di pertamina, korupsi pertambangan, dan lainnya.
Semua sampel itu begitu mengejutkan publik. Bukan hanya karena proses hukumnya yang tampak berbelit-belit, tapi nilainya begitu fantastis: ratusan triliun. Sampai sekarang, sosok Riza Khalid yang terkait kasus korupsi Pertamina masih belum tertangkap. Padahal, sembunyinya hanya di Malaysia.
Tiga, program pejabat yang sangat mengecewakan.
Begitu banyak dan terjadi silih berganti ‘kehebohan’ dari program para pejabat yang seperti ‘mengiris-iris’ nurani rakyat yang kian tersiksa.
Antara lain, ada menteri yang mencanangkan bahwa tanah yang tidak diolah sekian waktu akan diambil alih negara. Ada pejabat keuangan yang sebegitu ‘brutalnya’ memblokir rekening rakyat, bahkan sampai jutaan rekening. Klaim bahwa pulau-pulau tertentu menjadi milik propinsi ini dan itu. Dan lainnya.
Menariknya, para pejabat ini tidak pernah dihukum padahal bisa dibilang sudah melanggar aturan main. Bahkan sangat berisiko memunculkan reaksi yang fatal dari rakyat. Misalnya, kasus pulau bisa memunculkan lagi isu disintegrasi bangsa, kasus rekening bisa membuat bangkrut perbankan nasional dan perekonomian negara.
Empat, kenaikan pajak yang ugal-ugalan.
Di tengah keadaan kesulitan ekonomi yang parah dialami rakyat, pemerintah pusat dan daerah menaikan pajak yang fantastis. Antara lain, kenaikan PBB atau pajak bumi dan bangunan di hampir semua daerah.
Kebijakan daerah ini merupakan dampak dari kebijakan sharing keuangan dari pusat ke daerah. Bayangkan jika ada daerah menaikkan PBB hingga berlipat-lipat, bisa ditebak seperti apa kemarahan rakyat.
Aspirasi dan Manipulasi
Sebagai sebuah kemestian jika aspirasi rakyat didengar dan diwujudkan pemerintah. Terlebih aspirasi besar yang siapa pun bisa menangkap dengan mudah, tak perlu kajian dan tenaga ahli.
Ketika aspirasi disuarakan, terlebih lagi dalam sebuah aksi besar; pemerintah bisa langsung menjawab dan membuktikan dalam kenyataan. Misalnya, keluhan tentang tunjangan DPR yang fantastis, bisa langsung dihentikan melalui pernyataan terbuka dari pemerintah.
Misalnya, publik melihat ada kenaikan anggaran untuk DPR, dari tahun lalu yang sekitar 6 triliun naik menjadi 9 triliunan di tahun sekarang. Ini kan bisa langsung direspon cepat.
Begitu pun dengan isu krusial pajak PBB yang naik begitu fantastis, pemerintah bisa langsung mengeluarkan kebijakan baru yang solutif untuk semua pihak.
Semua aspirasi ini sudah disuarakan lantang di banyak tempat: daerah dan pusat. Tapi yang didapat hanya sebatas retorika dan pencitraan.
Manipulasi di Aksi Unjuk Rasa
Aksi unjuk rasa karena tersumbatnya aspirasi yang terus menumpuk tentu akan memunculkan ‘ledakan’ besar. ‘Ledakan’ itu bisa muncul sewaktu-waktu jika ada triger atau pemicu yang muncul di luar dugaan.
Masalahnya, ada pihak-pihak tertentu yang ‘mengolah’ aksi besar yang berasal dari ‘ledakan’ itu menjadi agenda-agenda lain. Dalam hal ini, siapa pun bisa menunggangi. Bisa berasal dari yang ingin menjatuhkan pemerintah, bisa juga dari yang pro pemerintah sendiri.
Bayangkan, sebuah aksi besar yang disorot bukan apa aspirasinya, melainkan apa dampak buruk aksinya dan siapa dalangnya.
Manipulasi ini bukan hanya menutup isi dari aspirasi aksi, tapi juga memunculkan masalah baru yang juga sangat berbahaya. Antara lain, bisa memunculkan konflik horizontal terbuka di kalangan rakyat, bisa terjadi adu domba antar aparat di lapangan, dan lainnya.
Seni Menangkap Aspirasi
Pemerintah itu sejatinya melayani, bukan dilayani. Belum genap satu tahun pemerintahan baru ini. Begitu banyak harapan dari rakyat yang kian terjepit oleh banyak masalah.
Karena itu, ubahlah pola pelayanan dan kebijakan pemerintah. Cukup sudah suguhan pidato dan orasi. Rakyat tidak butuh itu. Bangsa dan negara pun tidak akan maju hanya dengan itu.
Lakukan efisiensi yang sejatinya. Bukan sekadar basa-basi. Efisiensi yang dimaksudkan untuk memberikan porsi yang lebih besar kepada rakyat daripada elit di saat sulit ini.
Segera tegakkan hukum dan keadilan. Jangan ‘manjakan’ para koruptor dengan potongan hukuman. Lakukan perampasan aset koruptor untuk membiayai kesejahteraan rakyat.
Jangan lagi ada ‘pandang bulu’ dalam penegakan hukum. Tangkap dan penjarakan siapa pun yang jelas merusak bangsa dan negara.
Kalau ini dijalankan dan dibuktikan, siapa pun akan menjamin tak akan ada lagi aksi besar yang mengancam keberlangsungan pemerintahan saat ini. [Mh]