ChanelMuslim.com- Hingga pekan ketiga Februari, minyak goreng masih menjadi momok di kalangan rakyat. Kisah miris bagaimana rakyat mencari minyak goreng murah seperti pemandangan sehari-hari.
Janji pemerintah yang akan menormalkan harga minyak goreng di awal Februari terpaksa dicerna rakyat sebagai ‘zong’. Salah satu kebutuhan pokok ini masih sangat sulit dicari. Kalaupun ada, harganya sangat mahal.
Ada suami istri yang keliling mini market dengan sepeda motor hanya untuk mencari minyak goreng. “Maaf, minyak gorengnya sudah habis, Bu,” jawab kasir sebuah mini market saat menjawab keberadaan minyak goreng.
“Saya keliling mini market cari minyak goreng yang harga normal, belum juga saya dapat,” ucap si istri begitu kecewa.
Ada lagi seorang ibu paruh baya yang menanyakan minyak goreng kemasan satu liter ke sebuah agen sembako. “Kosong, Bu. Adanya yang dua liter,” ucap pelayan.
“Harganya berapa?” kata ibu lagi. “Yang dua liter 38 ribu,” jawab pelayan. Ibu itu terdiam. Ia pun beranjak pergi.
Di Surabaya sebuah antrian panjang dilakoni ibu-ibu. Mereka bukan sedang antri bansos. Melainkan ngantri minyak goreng dengan harga normal.
“Alhamdulillah, akhirnya dapat juga,” ucap seorang ibu yang mengaku sudah antri selama setengah jam.
Kisah-kisah di atas terjadi hari ini dan kemarin. Semuanya masih dalam kota-kota di Pulau Jawa. Jaraknya dengan Jakarta masih tidak terlalu jauh.
Entah bagaimana halnya di kawasan nan jauh dari Jakarta: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Cerita miris rakyat mencari minyak goreng dengan harga normal seperti saling tindih dengan agen dan pedagang yang ingin meraup untung besar.
Agen dan pedagang tidak mau melepas stok minyak goreng mereka lantaran harga belinya dengan harga tinggi. Sementara, subsidi yang digelontorkan pemerintah seperti tidak sampai ke mereka. Karena boleh jadi, subsidi itu masuk ke pihak produsen.
Jadi, kesenjangan harga minyak goreng akan terus ada selama agen dan pedagang merasa rugi dengan kebijakan harga eceran tertinggi atau HET pemerintah. Karena menurut mereka, stok yang dimiliki didapat dengan harga sebelum HET.
Sementara mini market yang sudah menerima stok dengan HET belum mampu memenuhi permintaan pasar yang besarnya bisa sepuluh kali lipat dari kemampuan gudang mereka.
Sengkarut minyak goreng ini bermula dari selisih harga minyak sawit yang sangat jauh antara harga dalam negeri dan luar negeri. Sepertinya, produsen lebih memilih ekspor daripada memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.
Anehnya, pemerintah lebih memilih menggelontorkan subsidi untuk produsen daripada memaksa produsen untuk menjual dengan harga dalam negeri.
Dengan kata lain, pemerintah belum mampu menyiasati tekanan harga dalam negeri karena stok minim dari produsen. Akibatnya, rakyat seperti membeli minyak goreng dengan harga luar negeri. Padahal, bahan bakunya diperoleh dari kekayaan alam Indonesia.
Inilah mungkin di antara kisah miris tentang minyak goreng di negeri penghasil sawit terbesar di dunia. Entah sampai kapan kisah ini akan berakhir. [Mh]