ChanelMuslim.com – Cinta, Sebuah Kata Kerja ditulis oleh Salim A. Fillah pada tahun 2008. “Ya Rasulallah, kata ‘Umar perlahan, Aku mencintaimu seperti kucintai diriku sendiri.”
Beliau Shallallaahu Alaihi wa Salam tersenyum. “Tidak, wahai, Umar, Engkau harus mencintaiku melebihi cintamu pada diri dan keluargamu.”
“Ya, Rasulallah”, kata ‘Umar, mulai saat ini engkau lebih kucintai daripada apapun di dunia ini.”
“Nah, begitulah, Wahai ‘Umar.”
Membaca kisah ini dulu saya takjub bertanya. Sebegitu mudahkah bagi orang semacam ‘Umar ibn Al-Khaththab menata ulang cintanya dalam sekejap.
Sebegitu mudahkah cinta diri digeser ke bawah untuk memberi ruang lebih besar bagi cinta pada sang Nabi dalam waktu yang sangat singkat. Hanya sekejap. Alangkah indahnya jika saya bisa begitu.
Bagi saya tak semudah itu. Cinta berhubungan dengan ketertawanan hati yang tak gampang dialihkan. Tetapi Umar bisa. Dan mengapa dia bisa?
Ternyata cinta bagi ‘Umar adalah kata kerja. Maka menata ulang cinta baginya hanyalah menata ulang kerja dan amalnya dalam mencintai.
Ia tak berumit-rumit dengan apa yang ada dalam hati. Biarlah hati menjadi makmum bagi kerja-kerja cinta yang dilakukan oleh amal shalihnya.
Baca Juga: Cinta Sejati dan Saling Setia hingga Akhir Hayat
Cinta, Sebuah Kata Kerja
Dari sini kita bisa memahami apa yang dikeluhkan oleh Erich Fromm, “Cinta merupakan seni”, tulisnya dalam The Art of Loving, “Maka cinta memerlukan pengetahuan dan perjuangan.
Sayang pada masa ini cinta lebih merupakan masalah dicintai (to be loved), bukan mencinta (to love) atau kemampuan untuk mencintai.
Ya. Persoalan cinta menjadi tidak sederhana, karena cinta dalam latar pikir kita adalah persoalan dicintai. Itu adalah sesuatu yang di luar kendali penuh jiwa kita.
Kita dicintai atau tidak bukanlah suatu hal yang bisa kita paksakan. Dunia di luar sana punya perasaannya sendiri, yang kadang secara aneh memutuskan siapa dan tak layak dicintai.
Maka mari kita sederhanakan persoalannya. Bahwa cinta–sebagaimana Umar memahaminya–adalah persoalan berusaha untuk mencintai.
Bahwa cinta bukanlah gejolak hati yang datang sendiri melihat paras ayu atau jenggot rapi. Bahwa, sebagaimana cinta kepada Allah yang tak serta merta mengisi hari kita, setiap cinta memang harus diupayakan.
Dengan kerja dengan pengorbanan, dengan air mata, dan bahkan darah.
Di sini, kalimat seorang suami yang suatu hari mengadu untuk bercerai menjadi tak relevan, “Aku sudah tak mencintainya lagi!”
Justru karena kau tak mencintainya lagi, maka cintailah dia. Karena cinta adalah kata kerja.
Lakukanlah kerja jiwa dan raga untuk mencintainya. Kerjakan cinta yang kumaksudkan agar kau temukan cinta yang kau maksudkan. Karena cinta adalah kata kerja.
Di sini kalimat seorang isteri yang menerima seorang lelaki dengan keterpaksaan juga tak mempan. “Aku tidak mencintainya.”
Engkau bisa memilih. Untuk mencintai atau membenci. Dan dalam keadaan kini mencintai adalah pilihan yang lebih masuk akal. Bukan perasaan itu.
Mungkin ia memang belum hadir. Yang kumaksudkan adalah sebuah kerja untuk mencintai. Karena cinta adalah kata kerja.
Baca Juga: Khadijah, Mahadaya Cinta
Mencintai Allah, mencintai Rasul-Nya, mencintai jihad di jalan-Nya juga berjalan di atas logika yang sama. Ia melampaui batas-batas perasaan suka dan tak suka.
Mungkin ia sulit. Atau kalah dibandingkan kecenderungan hati untuk mencintai ayah, anak saudara, isteri, simpanan kekayaan, perniagaan, dan kediaman-kediaman indah.
Akan tetapi, ia mungkin dan masuk akal untuk digapai. Karena bukan perasaan cinta yang dituntut di sini. Melainkan kerja cinta.
“Diwajibkan atas kamu berperang padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah [2]: 216)
Dalam jihad, cinta menjadi sederhana. Bukan karena kita suka melihat darah tumpah, bukan karena kita menyukai anyir peperangan. Perasaan kita boleh tetap membencinya.
Tapi cinta adalah sebuah kerja seperti yang terucap dalam baiat para sahabat,
“Kami siap untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan rajin maupun malas, baik dalam suka maupun duka, dalam keadaan rela maupun terpaksa”.
Inilah kerja untuk mencintai. Karena kita beriman pada Allah, karena kita percaya pada ilmu-Nya, dan percaya pada kebaikan-kebaikan yang dijanjikan-Nya.
Baca Juga: Mencintai dan Membenci Sewajarnya
Di jalan cinta para pejuang, cinta adalah kata kerja. Biarlah perasaan hati menjadi makmum bagi kerja-kerja cinta yang dilakukan oleh amal saleh kita.
Mata airnya adalah niat baik dari hati yang tulus. Alirannya adalah kerja yang terus menerus.[ind]