ChanelMuslim.com – Sekolah di Norwegia sesantai apa? Tulisan ini ditulis oleh Savitry Khairunnisa, seorang WNI yang tinggal di Norwegia dan juga ibu dari 1 anak dalam laman Facebook-nya beberapa waktu lalu. Berikut tulisan selengkapnya.
Dalam esai-nya yang menang lomba menulis yang diadakan KBRI Oslo dalam rangka Hari Sumpah Pemuda tempo hari, Fatih menyampaikan bahwa sekolah di Norwegia termasuk santai. Terutama dibandingkan dengan di Indonesia.
Lalu ada pertanyaan menarik dari Bu Guru Linda Satibi . Beliau nitip pertanyaan buat Fatih: apakah tugas sekolah tetap penting, agar murid tetap fokus pada urusan sekolah, daripada mereka sibuk dengan gadget atau kegiatan lain yang tidak berfaedah?
Sudah saya tanyakan pada Fatih. Kami jadi diskusi cukup seru. Saya tuliskan intisarinya, ya.
Baca Juga: Kisah Norwegia
Sekolah di Norwegia Sesantai Apa?
Fatih sepakat dengan pendapat Bu Guru Linda. Tugas sekolah itu tetap harus ada. Karena tanpa tugas-tugas dari guru, murid akan mudah jadi malas belajar.
Masih menurut Fatih, meski tugas adalah perlu, tapi workload-nya jangan terlalu banyak sehingga membebani murid.
Dia lalu kilas balik ke masa SD-nya. Waktu itu PR cukup banyak dan rutin, terutama matematika, bahasa Norwegia, dan bahasa Inggris. Setiap pekan pasti ada PR. Sistem penugasan di sekolah Norwegia adalah semua PR — diberikan oleh guru hari apapun — tenggat waktunya adalah hari Jumat di pekan itu.
Seingat saya yang selalu mendampingi Fatih mengerjakan PR, lumayan padat juga kegiatan hariannya sepulang sekolah.
Selain PR, dia masih harus sepak bola, karate, dan gitar. Meski cukup padat, tapi tugas selalu beres sebelum deadline.
Dia sampai dipuji gurunya karena selalu jadi yang konsisten mengumpulkan PR paling awal.
Talk about Tiger Mom behind the boy.
Masuk SMP, justru kebalikannya. Sistem penilaian di sekolah-sekolah seluruh Norwegia mengalami perubahan.
Nilai tidak lagi semata-mata ditentukan oleh ulangan dan PR, tapi lebih ke usaha murid selama proses belajar mengajar.
Jadi nilai yang tercantum di rapor akhir tahun pelajaran, adalah nilai dari usaha mereka, ditambah nilai tugas-tugas, dan nilai ulangan yang frekuensinya bisa dihitung jari sebelah tangan.
Saya sempat menyampaikan kegundahan kepada wali kelas Fatih. Menurut saya di jenjang SMP ini murid malah jadi semakin santai. Tugas nggak selalu ada, apalagi ulangan.
Bagaimana mereka akan tertantang untuk berprestasi di sekolah? Bagaimana kalau murid malah jadi malas atau kehilangan motivasi belajar?
Jawaban ibu wali kelas waktu itu adalah, yang penting dari kegiatan belajar mengajar adalah proses transfer ilmu.
Bagaimana murid memahami, berpartisipasi dalam diskusi di kelas, bekerja sama dalam tim untuk mengerjakan tugas kelompok, mengenali potensi diri, dan mau jadi apa mereka kelak.
Ulangan tetap ada, tapi nanti menjelang tahun terakhir untuk ujian akhir kelas 10.
Jadi jangan khawatir, meski terkesan santai, anak-anak tetap belajar. Yang penting mereka jangan sampai terlalu ngoyo, sehingga energinya habis sebelum memasuki masa SMA.
Karena di SMA-lah perjuangan belajar sesungguhnya dimulai. Perjuangan belajar untuk masa depan mereka.
Meski kurang puas dengan jawaban itu, saya percaya saja. Metode belajar yang sangat kompetitif sejak awal ala Indonesia bertahun-tahun lalu, tentu tidak bisa diterapkan begitu saja untuk saat ini, di zaman Fatih.
Apalagi Indonesia dan Norwegia memiliki kultur belajar yang cukup jauh berbeda.
Fatih menambahkan, bahwa tugas sekolah di SMP tujuannya adalah melatih kemandirian, kebebasan berfikir, dan menantang kreativitas.
Kebanyakan jenis tugas sekolah Fatih saat ini adalah presentasi di hampir semua pelajaran. Dengan presentasi, murid “dibiarkan” berkreasi bebas untuk menghasilkan presentasi yang menarik dan optimal.
Di akhir presentasi, biasanya guru akan mengajukan pertanyaan. Dari cara murid menjawab ini akan dilihat, apakah murid sudah memahami subjek yang ia presentasikan. Jadi selain berfungsi sebagai PR, presentasi sekaligus adalah ulangan.
Kadang presentasi sendiri, tak jarang dikerjakan berkelompok. Tujuannya apa lagi kalau bukan melatih teamwork. Social skills nggak kalah penting dibandingkan academic skills, bukan?
Ada lagi tugas yang menurut saya keren. Saat ini anak kelas 10 mengambil mata pelajaran produksi dan pemasaran barang dan jasa.
Judulnya sesuai dengan tugasnya.
Jadi tiap kelompok memilih sendiri akan menyediakan barang / jasa apa untuk ditawarkan pada khalayak umum.
Mereka mencari sendiri sumber pembiayaan (misalnya: mengumpulkan botol bekas di perumahan untuk ditukar ke mesin daur ulang dan jadi uang).
Mencari supplier untuk produk, membuat website, mencari calon pembeli (melalui e-mail dan telepon), sampai memberikan pelayanan pengiriman hingga barang sampai ke tangan pembeli.
Fatih dan teman-temannya pernah jualan masker, dan untungnya lumayan. Bisa untuk modal usaha selanjutnya. Saat ini mereka sibuk jualan madu organik lokal. Sudah mulai meraih profit juga katanya.
Ayah Fatih sempat membeli sebotol madu. Selebihnya ia dan teman-temannya menawarkan ke mana saja yang menurut mereka bisa diprospek.
Tugas seperti ini asyik banget, kan? Nggak berasa kalau lagi mengerjakan PR. Mereka malah semangat belajar bisnis.
Di Norwegia, usaha yang dilakukan oleh murid diberi kode khusus “EB” (Elev Bedrift/Perusahaan Murid). Jadi calon pembeli bisa tahu kalau ini adalah tugas sekolah, dan biasanya mereka akan semangat mendukung.
Peran gurunya adalah memantau, menjadi tempat bertanya kalau ada kesulitan, dan mengevaluasi hasil kerja di akhir tahun ajaran.
Baca Juga: Masya Allah Inilah Pesona Oslo di Musim Dingin, Kota Terindah di Norwegia
Jadi, tugas sekolah di Norwegia sesantai apa? Jawabannya tergantung. Santai bisa, resmi bisa… Eh, itu sarung ya?
Maksudnya, tergantung murid itu sendiri untuk mengatur ritme belajarnya. Selain tugas sekolah yang resmi diberikan, murid tentunya juga menentukan sendiri kapan dia harus belajar, pelajaran apa yang mau dimantapkan, terutama sebagai persiapan masuk SMA.
Sejauh ini, sistem belajar seperti ini berfungsi baik di Norwegia. Mungkin bisa juga diterapkan di negara lain, sesuai dengan kultur belajar di negara tersebut, sih.
Anak rajin dan jenius di Norwegia banyak, tapi yang nyantai dan malas ya nggak kalah banyak. Yang sibuk belajar, yang hangout dengan teman-teman, yang sibuk pacaran, ya ada; sama aja seperti di tempat lain.
Intinya, kemandirian belajar seperti ini baru bisa diterapkan bila murid sudah memiliki kesadaran belajar yang baik.
Sadar akan tugasnya sebagai murid, yaitu belajar. Sistem mandiri seperti ini sepertinya baru bisa diterapkan di jenjang SMP, di mana murid tidak perlu terlalu banyak dibimbing.
Di usia remaja seperti ini justru mereka suka kalau dikasih kepercayaan dan kebebasan yang terukur.[ind]
Sumber: https://www.facebook.com/793874019/posts/10159435879834020/