ChanelMuslim.com – Wasiat Rasulullah Terhadap Pedang Abu Dzar
Akan tetapi setelah khalifah terbesar yang teramat adil dan paling mengagumkan di antara tokoh kemanusiaan telah pergi, terasa ada kehampaan dalam kepemimpinan.
Baca Kisah Sebelumnya: Dakwah dengan Lisan, Wasiat kepada Abu Dzar dari Rasul
Bahkan hal tersebut menimbulkan kemunduran yang tak dapat dikuasai dan dibatasi oleh tenaga manusia.
Sementara itu meluasnya ajaran Islam ke berbagai pelosok dunia menumbuhkan kemakmuran hidup. Orang yang tidak dapat menahan godaan dunia banyak yang terjerumus ke dalam kemewahan yang melebihi batas.
Wasiat Rasulullah Terhadap Pedang Abu Dzar
Abu Dzar melihat bahaya ini.
Panji-panji kepentingan pribadi hampir saja menyeret dan mendepak orang-orang yang tugasnya sehari-hari menegakkan panji-panji Allah.
Dan dunia, dengan daya tarik serta tipu muslihatnya yang mempesona, hampir pula memperdayakan orang-orang yang mengemban risalah untuk mempergunakannya sebagai wadah untuk menyemaikan dan menanamkan kebajikan.
Dan harta yang dijadikan Allah sebagai pelayan yang harus tunduk kepada manusia, cenderung berubah rupa, menjadi tuan yang mengendalikan manusia.
Dan kepada siapa?
Tiada lain kepada shahabat-shahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang di waktu wafatnya baju besinya sedang tergadai, sementara gundukan upeti dan harta rampasan perang bertumpuk di bawah telapak kakinya.
Hasil kekayaan bumi yang sengaja diperuntukkan Allah bagi semua umat manusia, dengan mejadikan mereka mempunyai hak yang sama, hampir berubah menjadi suatu keistimewaan dan hak monopoli bagi mereka yang terbenam dalam kemewahan.
Dan jabatan yang merupakan amanat untuk dipertanggung jawabkan kelak di hadapan pengadilan illahi, beralih menjadi alat untuk merebut kekuasaan, kekayaan dan kemewahan yang menghancur binasakan.
Abu Dzar melihat semua ini. Ia tidak memikirkan apakah itu menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya. Hanya ia langsung menghunus pedang, meletakkannya ke udara dan membedahnya.
Kemudia ia bangkit berdiri dan menantang masyarakat yang telah menyimpang dari ajaran Islam dengan pedangnya yang tak pernah tumpul itu.
Tetapi secepatnya bergemalah dalam kalbunya bunyi wasiat yang telah disampaikan Rasulullah kepadanya dahulu. Maka dimasukkannya kembali pedang itu ke dalam sarungnya, karena tiada sepantasnya ia akan mengacungkannya ke wajah seorang Muslim.
“Dan tidak ada haq bagi seorang muslim untuk membunuh mu’min lainnya kecuali karena keliru (tidak sengaja)” (Q.S. An-Nisaa’: 92)
Bersambung… [Ln]