ChanelMuslim.com – Sahabat Muslim, jangan ragu untuk terus berbuat kebaikan walau diri kita masih penuh dosa. Tidak ada larangan untuk selalu berbuat baik. Selain itu, tidak ada manusia yang luput dari dosa. Oleh sebab itu, justru kebaikan-kebaikan kitalah yang nantinya bisa menghapus dosa-dosa tersebut.
Oleh: Ustaz Farid Nu’man Hasan
Baca Juga: Kaum Ibu Turut Membangun Masyarakat dengan Menebar Kebaikan
Terus Berbuat Kebaikan walau Masih Penuh Dosa
Saudaraku, Apa yang kau anggap atas dirimu sendiri? Begitu banyakkah dosa dan noda? Ketahuilah, setiap manusia –siapa pun dia- juga memiliki kesalahan, dan sebaik-baik manusia yang membuat kesalahan adalah yang mau bertaubat.
Mari jadilah yang terbaik. Saudaraku, Apa yang menghalangimu membela agamamu? Apa yang merintangimu beramal demi kejayaan Islam dan kaum muslimin?
Dosa, noda, dan maksiat itu? Ketahuilah, jika kau diam saja, tidak beramal karena merasa belum pantas berjuang, masih jauh dari sempurna, maka daftar noda dan maksiat itu semakin bertambah.
Itulah tipu daya syetan atas anak Adam, mereka menghalangi manusia dari berjuang dan hidup bersama para pejuang, dengan menciptakan keraguan di dalam hati manusia dengan menjadikan dosa-dosanya sebagai alasan.
Saudaraku, hilangkan keraguanmu, karena Rabbmu yang Maha Pengampun telah berfirman:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan keburukan-keburukan.” (Q.S. Hud: 114)
Hilangkan pula kebimbinganmu, karena kekasih hati tercinta, NabiNya yang mulia –Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam– telah bersabda:
وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا
“Ikutilah perbuatan burukmu dengan perbuatan baik, niscaya itu akan menghapuskannya. (H.R. At Tirmidzi No. 1987, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 21354, 21403, 21487, 21536, 21988, 22059, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 296, 297, 298, juga Al Mu’jam Ash Shaghir No. 530, Ad Darimi No. 2833, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 178, katanya: “Shahih, sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim.”
Disepakati oleh Imam Adz DZahabi dalam At Talkhish. Sementara Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Al Albani menghasankannya dalam kitab mereka masing-masing)
Saudaraku, tidak usah berkecil hati dan jangan putus asa, sungguh agama mulia ini pernah dimenangkan oleh orang mulianya dan para fajir (pelaku dosa)nya.
Semuanya mengambil bagian dalam gerbong caravan pejuang Islam. Imam Al Bukhari telah membuat Bab dalam kitab Shahihnya, Innallaha Yu’ayyidu Ad Diin bir Rajul Al Faajir (Sesungguhnya Allah akan menolong agamaNya melalui seseorang yang fajir).
Kadang ada pelaku maksiat, seorang fajir, justru dia melakukan aksi-aksi nushrah (pertolongan) terhadap agamanya, dibanding laki-laki yang shalih.
Semoga aksi-aksi nushrah tersebut bisa mengubahnya dari perilaku buruknya, dan dia bisa mengambil pelajaran darinya sampai dia berubah menjadi orang shalih yang berjihad, bukan lagi orang fajir yang berjihad.
Saudaraku, ada Abu Mihjan. Kukisahkan kepadamu tentang Abu Mihjan Radhiallahu ‘Anhu. Ditulis dengan tinta emas para ulama Islam, di antaranya Imam Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala pada Bab Sirah Umar Al Faruq. (2/448. Darul Hadits, Kairo), juga Usudul Ghabah-nya Imam Ibnul Atsir. (6/271. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah).
Beliau adalah seorang laki-laki yang sangat sulit menahan diri dari khamr (minuman keras). Beliau sering dibawa kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk diterapkan hukum cambuk (jild) padanya karena perbuatannya itu. Bahkan Ibnu Jarir menyebutkan Abu Mihjan tujuh kali dihukum cambuk.
Namun, dia adalah seorang laki-laki yang sangat mencintai jihad, perindu syahid, dan hatinya gelisah jika tidak andil dalam aksi-aksi jihad para sahabat Nabi Radhiallahu ‘Anhum. Hingga datanglah perang Al Qadisiyah yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqash Radhiallahu ‘Anhu melawan Persia, pada masa pemerintahan Khalifah Umar Radhiallahu ‘Anhu.
Abu Mihjan ikut andil di dalamnya, dia tampil gagah berani bahkan termasuk yang paling bersemangat dan banyak membunuh musuh. Saat itu, dia dikalahkan keinginannya untuk meminum khamr, akhirnya dia pun meminumnya.
Maka, Sa’ad bin Abi Waqash menghukumnya dengan memenjarakannya serta melarangnya untuk ikut jihad. Di dalam penjara, dia sangat sedih karena tidak bisa bersama para mujahidin.
Apalagi dari dalam penjara dia mendengar suara dentingan pedang dan teriakan serunya peperangan, hatinya teriris, ingin sekali dia membantu kaum muslimin melawan Persia yang Majusi.
Hal ini diketahui oleh istri Sa’ad bin Abi Waqash yang bernama Salma, dia sangat iba melihat penderitaan Abu Mihjan, menderita karena tidak dapat ikut berjihad, menderita karena tidak bisa berbuat untuk agamanya.
Maka, tanpa sepengetahuan Sa’ad -yang saat itu sedang sakit, dan dia memimpin pasukan melalui pembaringannya, serta mengatur strategi di atasnya- beliau membebaskan Abu Mihjan untuk dapat bergabung dengan para mujahidin.
Abu Mihjan meminta kepada Salma kudanya Sa’ad yaitu Balqa dan juga senjatanya. Beliau berjanji, jika masih hidup akan mengembalikan kuda dan senjata itu, dan kembali pula ke penjara.
Sebaliknya jika wafat memang itulah yang dia cita-citakan. Abu Mihjan berangkat ke medan tempur dengan wajah tertutup kain sehingga tidak seorang pun yang mengenalnya.
Baca Juga: Kebaikan yang Tiada Putus
Turun ke Medan Jihad dengan Gesit
Dia masuk turun ke medan jihad dengan gesit dan gagah berani. Sehingga Sa’ad memperhatikannya dari kamar tempatnya berbaring karena sakit dan dia takjub kepadanya.
Dia berkata, “Seandainya aku tidak tahu bahwa Abu Mihjan ada di penjara, maka aku katakan orang itu pastilah Abu Mihjan. Seandainya aku tidak tahu di mana pula si Balqa, maka aku katakan kuda itu adalah Balqa.”
Sa’ad bin Abi Waqash bertanya kepada istrinya, dan istrinya menceritakan apa yang terjadi sebenarnya pada Abu Mihjan, sehingga lahirlah rasa iba dari Sa’ad kepada Abu Mihjan.
Perang usai, dan kaum muslimin menang gilang gemilang. Abi Mihjan kembali ke penjara, dan dia sendiri yang memborgol kakinya, sebagaimana janjinya. Sa’ad bin Waqash Radhiallahu ‘Anhu mendatanginya dan membuka borgol tersebut, lalu berkata:
لا نجلدك على خمر أبدا فقال: وأنا والله لا أشربها أبدا
“Kami tidak akan mencabukmu karena khamr selamanya. Abu Mihjan menjawab: “Dan Aku, Demi Allah, tidak akan lagi meminum khamr selamanya!”
Saudaraku, sangat sulit bagi kita mengikuti dan menyamai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan para sahabat nabi yang mulia, Radhiallahu ‘Anhum. Tetapi, paling tidak kita masih bisa seperti Abu Mihjan, walau dia pelaku maksiat namun masih memiliki ghirah kepada perjuangan agamanya, dan ikut hadir dalam deretan nama-nama pahlawan Islam.
Semoga Allah Ta’ala memasukkan kita ke dalam deretan para pejuang agamaNya, mengikhlaskan, dan memberikan karunia syahadah kepada kita. Aamiin. Wallahu A’lam.
Sumber: Tulisan diambil dari Alfahmu.id, website resmi Ustadz Farid Nu’man.