ChanelMuslim.com- Sumbangan harta lebih bernilai dari tenaga. Semua orang punya tenaga, tapi tidak semua orang bisa punya harta. Tidak heran jika pengorbanan harta lebih mengundang kompensasi. Termasuk pujian dan penghormatan.
Infak, sedekah, dan sejenisnya merupakan bagian dari ajaran Islam. Ada hitungan-hitungan tertentu tentang itu. Ada yang wajib dibayar, ada yang dianjurkan.
Kalau yang wajib dibayar boleh jadi hal lumrah. Tapi yang dianjurkan itu yang menarik untuk disimak. Ada nilai pengorbanan di situ. Ada juga godaannya. Yaitu, godaan untuk meraih pujian, penghormatan, dan lainnya.
Meskipun begitu, Allah subhanahu wata’ala mempersilahkan hambaNya untuk berinfak secara sembunyi atau terang-terangan. Tidak ada larangan jika akan diketahui orang banyak.
Pujian boleh jadi hal lain dari infak yang dilakukan terang-terangan. Orang yang melakukan hal istimewa wajar sekali jika mendapat pujian. Yang tidak patut adalah pujian yang diharapkan.
Sebagian orang soleh mengkhawatirkan kalau dirinya tidak mampu menahan godaan itu. Yaitu, godaan untuk tidak mengharapkan pujian. Karena sedikit saja ada pergeseran niat, nilai infak akan hancur sama sekali.
Para sahabat radhiyallahum ajma’in terbiasa untuk hanya mencari ridha Allah itu. Mereka meneladani perbuatan itu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Di antara para sahabat mulia itu ada Abu Thalhah yang meski miskin rela menjamu tamu Nabi dengan baik. Tak seorang pun tahu amal mulia itu, kecuali setelah Allah subhanahu wata’ala mengabarkannya melalui Al-Qur’an dalam Surah Al-Hasyr.
Ada lagi sahabat Abdurrahman bin Auf yang rela menginfakkan seluruh hartanya untuk perjuangan Nabi. Kalau ada orang miskin menginfakkan seluruh hartanya mungkin itu wajar. Tapi jika orang paling kaya di Madinah seperti Abdurrahman bin Auf melakukan itu, nilainya menjadi sangat luar biasa. Meskipun Nabi menolaknya.
Ada lagi sahabat atau tabiin yang menjadi sosok misterius di balik sedekah massal yang sering terjadi di sebuah kampung. Sedekah itu berupa makanan atau uang yang digantungkan di pintu rumah orang-orang miskin.
Orang-orang miskin itu tidak tahu siapa gerangan orang baik itu. Mereka hanya menemukan bungkusan sedekah itu saat bangun dari tidur, tapi tidak tahu siapa yang memberikannya. Begitu sering hal itu terjadi.
Baru mereka tahu siapa yang memberikan sedekah itu setelah ada orang soleh yang meninggal dunia. Setelah beberapa hari orang ini meninggal dunia, sedekah-sedekah itu tidak ada lagi.
“Oh, rupanya beliau itu sosok misterius yang selama ini memberikan sedekah kepada kami,” begitu kira-kira ucapan mereka.
Orang-orang soleh dermawan seperti itu selalu ada di setiap zaman. Mereka seperti mutiara yang berkilau di tengah lumpur yang terhampar. Yaitu, lumpur materialis yang menganggap harta harus bernilai kompensasi. Tidak boleh gratis, apalagi “keluar” dengan sembunyi-sembunyi.
Dunia dan isinya itu memang tidak senilai sayap lalat di sisi Allah. Tapi sedikit saja yang direlakan semata karena ridha Allah, sekali lagi hanya karena Allah, nilainya bisa melampaui dunia itu sendiri. [Mh]