ChanelMuslim.com- Harmonis itu dambaan suami istri. Namun, realita kadang tak seindah idealita. Yang dicita-citakan terganjal dengan kenyataan. Pilihannya berat: mau pura-pura harmonis, atau pisah?
Perjalanan hidup berumah tangga kadang tak semulus yang dibayangkan seperti saat awal pengantin baru. Ada konflik. Ada ketidakcocokan. Ada PIL dan WIL. Atau ada-ada yang lain.
Dalam keadaan seperti ini, pilihannya dua. Yaitu, tetap terus bertahan meskipun harmonisnya cuma buatan. Atau pisah di tengah jalan. Asal jangan yang ketiga, tegang dan ribut terus entah sampai kapan.
Pisah sebagai Pilihan Terakhir
Islam memang membolehkan cerai atau pisah. Tapi, pilihan ini bukan pilihan normal. Artinya, jika memang aneka pilihan damai sudah tidak lagi ditemukan.
Pilihan pisah itu dibuka karena dimaklumi bahwa ada masalah berat yang sulit ditoleransi. Seperti, pasangan yang pindah agama atau murtad. Atau, beberapa pelanggaran berat lain yang dirasa tidak akan lagi ditemukan kecocokan.
Namun jika masalahnya hanya soal rasa, miskomunikasi atau kesalahpahaman, beda selera, dan hal remeh temeh lainnya; pilihan islah tentu menjadi yang utama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan contoh teladan. Termasuk dalam hal berumah tangga. Dan selama berumah tangga, beliau tidak pernah pisah atau cerai. Meskipun hal itu dibolehkan.
Ketika hidup bersama Khadijah radhiyallahu ‘anha, tidak pernah ditemukan pernak pernik konflik di keluarga Nabi. Meskipun tekanan yang dihadapi di lingkungan beliau begitu berat.
Yang memisahkan Nabi dengan Khadijah hanya usia. Keduanya berpisah di saat Khadijah dan Nabi berusia di atas lima puluhan.
Begitu pun ketika Nabi hidup bersama istri-istri berikutnya. Meskipun tekanan lingkungan tetap ada, Nabi berpisah dengan mereka juga karena usia.
Perceraian memang pernah dialami keluarga Nabi, yaitu terjadi terhadap dua puteri beliau: Zainab dan Ruqayyah radhiyallahu ‘anhuma. Namun, sebabnya karena suami-suami mereka yang menceraikan. Hal tersebut karena keduanya menolak ajaran Nabi, Al-Islam.
Pisah itu, sekali lagi, memang dibolehkan. Tapi, hitung juga soal dampak yang dimunculkan terutama ketika anak-anak masih perlu bimbingan dan teladan. Mereka sangat butuh dua sosok panutan yang selalu hadir berpasangan.
Jangan pernah membayangkan mereka akan dihadapkan dengan pilihan: ikut ayah atau ibu? Sebuah pilihan yang bukan hanya sulit dijawab, tapi juga akan berdampak buruk di sepanjang hidup mereka.
Rumus dalam ikatan keluarga itu sangat sederhana. Suami istri memang bisa pisah atau ada bekasnya. Tapi ikatan ayah ibu dengan anak-anak tidak akan pernah ada bekasnya. Jangan sampai mereka menghadapi pilihan yang sangat sulit dilakukan itu.
Selama masalahnya hanya soal rasa dan kecocokan, pertahankanlah ikatan rumah tangga itu. Kalau memang butuh waktu untuk rekonsiliasi, tak ada salahnya untuk pura-pura harmonis. Semoga, pura-pura ini tidak untuk waktu yang lama. [Mh]