ChanelMuslim.com—Dua hari lalu Presiden Joko Widodo telah mengumumkan pembatalan peraturan daerah (Perda) yang dianggap ‘bermassalah’. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 3.143 Perda yang dibatalkan.
Dari ribuan Perda tersebut, terdapat Perda yang dibatalkan terkait aturan moral dan akhlak di tingkat lokal. Misalnya, Perda No 4/2004 tentang Khatam Alquran bagi peserta didik pada pendidikan dasar dan menengah di Kalimantan Selatan. Keputusan Bupati No. 451/2712/ASSDAI/200 tentang kewajiban memakai Jilbab di Cianjur. Sebagian lainnya Perda yang dibatalkan itu karena dianggap menghambat investasi.
Terkait dengan pembatalan Perda-perda itu, Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini berharap pemerintah cermat dan tidak gegabah dalam membatalkan Perda-perda itu dan cermat mengkaji subtasinya dan tepat caranya, sehingga tak menimbulkan polemik yang tidak pada tempatnya.
“Soal cara, pemerintah memiliki kewenangan untuk membatalkan Perda berdasarkan UU Pemda. Namun, jangan sampai ada kesan mengekang otonomi daerah. Oleh karena itu, Pemerintah harus kedepankan pendekatan pembinaan daripada pengawasan represif atas perda-perda yang dinilai bermasalah. Ada kajian dan proses dialogis, sehingga tidak asal dibatalkan,” katanya seperti dikutip dari siaran pers yang disebarkan ke media.
Menurut Jazuli, terkait subtansi Perda yang dianggap bermasalah, pemerintah harus kemukakan kriteria yang rasional dan objektif berdasarkan peraturan perundang-undangan.
“Tunjukkan dimana letak masalah terkait subtansinya secara objektif dan peraturan perundang-undangan mana yang dilanggar, sehingga pemda dan publik juga bisa menilai objektif dan rasional langkah pemerintah pusat ini,” tandasnya.
Menanggapi masalah pembatalan Perda oleh Pemerintah, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memang mempunyai kewenangan mengevaluasi peraturan daerah (Perda). Namun, katanya, evaluasi harus sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Mahfud menjelaskan, setiap pemerintah daerah yang membuat perda harus disampaikan ke Kemendagri dan dievaluasi selama 60 hari. Jika selama 60 hari tidak ada evaluasi apa pun, perda tersebut dinyatakan sah.
“Kalau dicabut, harus melalui judicial review atau political review. DPRD-nya yang diminta mengevaluasi,” kata Mahfud, Rabu (15/6/2016) seperti dikutip Republika Online.
Mahfud mengatakan, secara hukum pemerintah daerah bisa mengabaikan pencabutan perda yang dilakukan oleh Kemendagri. Aturan ini sudah jelas pada Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. “Kecuali undang-undangnya diubah,” kata Mahfud.
Namun, menurut Mahfud, tidak ada perubahan undang-undang yang menyangkut hal ini. Mahfud mengatakan, prosedur ini tidak hanya berlaku pada perda intoleran, tetapi pada semua perda yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah daerah. (mr/ilustrasi: beritaempat)