ChanelMuslim.com- Pernikahan menghasilkan sebuah keluarga baru. Seperti halnya tanaman hias, pohon baru akan tumbuh di lahan kosong. Bukan tetap di pot yang sama bersama iduknya.
Semua orang mendambakan sebuah keluarga bahagia. Ada kelengkapan anggota, ada juga kelengkapan sarana.
Kelengkapan anggota adalah adanya ayah, ibu, dan anak. Kalaupun ada sosok lain, hanya sebagai pelengkap saja. Seperti, asisten rumah tangga, dan lainnya.
Kelengkapan sarana adalah adanya wadah di mana keluarga itu tumbuh dan berkembang. Tumbuh dan berkembangnya secara mandiri.
Wadah utama dalam keluarga adalah rumah. Di situlah keluarga memiliki identitas. Seperti siapa kepala keluarganya, anaknya berapa, alamatnya di mana, dan seterusnya.
Namun begitu, ada kalanya keluarga baru menetap dalam keluarga lama. Ada juga keluarga lama yang tetap menetap dalam keluarga yang lebih lama lagi.
Tak Rugi Belajar Mandiri
Menikah dan membangun keluarga adalah satu paket yang selalu menyatu. Sebelum menikah, bahkan visi ini harus sudah terbangun baik. Bahwa setelah masa transisi, selanjutnya harus mandiri.
Semakin singkat masa transisi, semakin cepat proses belajar untuk menjadi mandiri. Karena mandiri bukan sekadar soal sarana, tapi kesiapan mental dan kematangan merencanakan masa depan.
Sebelum mandiri menjadi aksi, harus ada kesepakatan suami istri. Harus ada kesamaan visi. Bahwa, keluarga baru yang akan dibangun adalah keluarga yang mampu berdiri sendiri. Bukan lagi di balik bayang-bayang orang tua.
Mandiri tidak berarti pisah segala-galanya dengan orang tua. Karena tidak semua orang tua tergolong lemah ekonomi. Mereka tentu tidak akan membiarkan anaknya merasakan kesenjangan antara tinggal di rumah orang tua dengan berada di rumah baru milik sendiri.
Tidak ada salahnya membuka “campur tangan” orang tua untuk membantu anaknya. Dan boleh jadi, ini juga merupakan bagian dari birrul walidain terhadap mereka. Menyenangkan hati mereka dengan menghargai bantuan yang mereka tawarkan.
Di pihak orang tua, menyenangkan anaknya juga menjadi bagian kepuasan diri. Biasanya, orang tua yang mampu secara ekonomi akan memfasilitasi “pelepasan” itu. Mereka berusaha menyediakan rumah yang memadai, dan tentunya yang tidak jauh dari rumah mereka.
Namun, apa pun bantuan yang diulurkan orang tua, tidak mengecilkan tekad dan semangat untuk terus mandiri. Jangan justru memunculkan rasa ketergantuan lain terhadap orang tua. Meskipun mereka senang.
Jika orang tua tergolong tidak mampu seperti itu, tekad mandiri akan memunculkan banyak ide dan cara. Terutama mencari rumah yang memadai untuk membangun keluarga Islami.
Soal rumah didapat dari membeli atau mengontrak, itu urusan lain. Karena persoalannya bukan pada status rumah, tapi pada kepuasan hidup sebagai keluarga mandiri.
Soal perabot? Jangan juga pikirkan hal itu. Karena jika tekad mandiri terwujud, perabot akan muncul sendiri sejalan dengan kebutuhan. Tentu tidak langsung serba sempurna dan memadai.
Justru sebaliknya, jika tanpa rumah baru yang mandiri, perkembangan soal perabot akan berjalan di tempat. Karena secara psikologis, semua terasa sudah tersedia. Tak perlu lagi beli yang baru.
Yang lebih penting dari keluarga mandiri adalah munculnya tekad dan pengalaman menjadi mandiri. Meskipun, bergerak tidak cepat dan kadang tertatih karena terkendala masalah ekonomi.
Jika ada tekad kuat untuk menjadi lebih baik, insya Allah, akan ada solusi. Faidza ‘azamta, fatawakkal ‘alallah. [Mh]